Dublin, Pekatnya Bir Hitam dan Alunan Musik Tradisional


Di depan unibersitas Trinity Dublin

Mengunjungi Dublin, Republik Irlandia bagi saya adalah hal  tak terduga. Kesempatan itu muncul manakala saya memanfaatkan program Host, sebuah program  khusus bagi mahasiswa asing untuk tinggal pada sebuah keluarga di Irlandia Utara pada akhir pekan. Program ini gratis dan enaknya mahasiswa diajak  berdarmawisata oleh keluarga yang menerima.

Kebetulan keluarga Danny Ennis yang menerima saya, tinggal di sebuah kawasan wisata yang berdekatan dengan wilayah teritorial Irlandia Selatan. Tepatnya di kota Newcastle, tenggara Belfast. Awalnya saya kuatir juga ketika diajak ke Dublin karena saya tidak punya visa. Namun keluarga Ennis, meyakinkan untuk tenang karena tidak akan ada pemeriksaan imigrasi bagi warga Irlandia Utara yang melintasi perbatasan dua negara.

Lebih setengah jam berkendaran, kami sudah masuk wilayah Republik Irlandia persisnya melintasi  kota Dundalk, kota asal kelompok musik The Corrs. Tidak menyangka kota sekecil ini namun elok, melahirkan kelompok musik ternama. ”Tidak usah kaget, musik bagi orang Irlandia seperti bagian yang tak terpisahkan dalam hidup,”ujar Danny.

Rasa kuatir tertangkap petugas imigrasi terlupakan manakala pemandangan alam pedesaan menuju Dublin begitu menarik perhatian mata. Rumah-rumah bercat putih dengan taman bunganya yang berwarna-warni menghiasi panorama negeri asal sastrawan George Bernard Shaw dan Oscar Wilde ini. Satu setengah jam kemudian barulah memasuki gerbang kota Dublin.

Laju mobil sedan yang kami tumpangi tersendat saat melintas O’Connell street, jalan protokol utama Dublin. Di jalan yang panjangnya sekitar satu setengah kilometer ini denyut kehidupan Dublin sangat terasa. Ramai, hiruk pikuk. Bangunan kuno, seperti museum, bangunan kantor pemerintahan dengan bendera Irlandia hijau putih merah secara vertikal, pusat hiburan, restoran besar, mall nampak berderet. Sementara  toko cenderamata khas Irlandia nampak mencolok mata dengan display etalasenya lengkap dengan suara musik tradisional. Semua papan nama tempat, jalan serta informasi lainnya ditulis dalam dua bahasa; Inggris dan Gaelic bahasa ibu Irlandia.

Ibukota Republik Irlandia ini–layaknya kota-kota besar di Eropa barat — adalah sangat sibuk dan mahal. Harga-harga barang rasanya setara dengan London yang kalau di kurs rupiah membuat dahi berkerut. ”Dulu biaya hidup di Dublin masih murah. Namun sejak negeri ini bergabung dengan Uni Eropa dan memberlakukan mata uang tunggal Euro, harga-harga serasa berlompatan,”Danny menjelaskan.

Nafas wisata Dublin  terasakan dengan hadirnya turis  berbagai bangsa dengan bahasa dan dialek yang terdengar asing di telinga.  Bus-bus wisata dengan model open top sarat  turis nampak berlalu lalang mengeksplorasi keindahan setiap sudut kota.

Danny yang memandu saya menyebutkan, Dublin mengalami transformasi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir.  Wajah Dublin yang merupakan ibukota zaman medieval menjadi kota kosmopolitan. Perekonomian Irlandia selatan maju pesat karena pemerintah memberikan insentif yang menarik bagi kehadiran penguasaha yang bergerak di sektor teknologi informasi.

Sebuah sudut kota Dublin

Warga Irlandia yang banyak beremigrasi ke berbagai negara banyak yang kembali seiring dengan pertumbuhan ekonomi Irlandia yang pesat. Seorang rekan di BBC Irlandia Utara menuturkan, sekitar dua dekade lalu serasa sulit mendapat kerja di Dublin. ”Saya sampai merantau ke Praha, Republik Ceko untuk menjadi guru bahasa Inggris. Namun tahun 1990-an saya kembali ke Dublin karena banyak lapangan pekerjaan tersedia.”

Potret kehidupan modern dan tradisional kini membingkai wajah  Dublin. Hotel berbintang, cafe dan restoran modern berdampingan dengan kedai-kedai minum tradisional dan guest house yang menawarkan keramahan.  Jika boleh berasumsi, sebenarnya kedai-kedai minum tradisional inilah yang memikat dan menggerakan hati wisatawan mengunjungi Dublin. Bukan simbol-simbol kehidupan modern yang notabene bisa dijumpai di banyak negara.

Kalau mau merasakan nikmatnya bir hitam Guiness, mungkin disinilah tempatnya. Selain karena bir itu buatan asli Irlandia selatan juga atmosfir bar membangun aura pengunjung untuk menikmati minuman khas tersebut. Bar dan pub tradisional nampak selalu ramai di Dublin. Suasananya hidup dengan sajian musik Irlandia yang kental. Dibandingkan dengan kota-kota di Eropa daratan, daya tarik arsitektur di Dublin memang tidak terlalu istemewa, namun kehidupan malam di bar-bar itulah yang membuat Dublin tampak menarik dan kelihatan berbeda. Bar-bar tradisional yang banyak berserakan di setiap sudut jalan ini umumnya buka sampai pukul 03.00 dinihari.

Kami merasakan suasana khas Irlandia saat masuk ke satu bar yang cukup populer, Temple Bar yang ada di pusat kota. Bar ini menyajikan, sajian musik hidup yang diambil dari lagu-lagunya kelompok musik Dubliners, kelompok asal Irlandia yang khusus membawakan lagu-lagu rakyat Irlandia selatan. Kelompok pemusik tradisional yang beranggotan  lima orang itu memainkan instrumen musik bodum (perkusi khas Irlandia), mandolin, seruling dan  biola ini di panggung yang disediakan

Di bar ini selain sajian musik yang  dipertontonkan juga diiringi dengan  Irish step dancer, jenis tarian musik yang menonjolkan hentakan  kaki pada lantai yang berirama. Para pengunjung baik itu penduduk lokal maupun turis berbaur dan nampak asyik dengan gelas-gelas birnya, larut dalam suasana yang riang. Alunan musik berbaur dengan suara gaduh pengunjung dan dentingan gelas.

Book of Kelt

Seperti umumnya kota-kota di Eropa, sungai menjadi tonggak pembangunan sebuah kota. Jika London, ada Thames, Praha dilalui Vltava, Budapest ditembus Danube, Paris mempunyai Seine, Roma dialiri  Tiber, maka Dublin dibelah sungai Liffey. Sungai itu memang tidak besar dan airnya tidak sejernih Vltava namun dari pinggiran sungai inilah kehidupan Dublin dulunya bermula.

Liffey yang terletak di ujung jalan protokol O’Connell dari dulu sampai jaman sekarang menjadi pusat aktivitas Dublin. Walaupun pemandangan di sepanjang aliran sungai ini jauh dari kesan elok dan menarik, namun ini menjadi tempat yang bagus untuk memulai mengetahui sisi-sisi kota.

Liffey membelah Dublin jadi dua bagian. Di bagian selatan sungai, banyak bermunculan infrastruktur pariwisata dan bangunan baru, hasil pertumbuhan ekonomi Dublin yang begitu cepat. Hotel, kafe-kafe trendi dan pusat perbelanjaan. Di bagian utara relatif tidak banyak tersentuh atau terpengaruh oleh ekonomi informasi. Cita rasa kota tua masih terlihat kental karena masih dengan mudah ditemukan bangunan yang menggunakan arsitektur abad 18 dan tempat-tempat historis lainnya. Banyak rumah-rumah di daerah ini yang merupakan contoh arsitektur Georgia seperti yang ditemui di sekitar Merrion Square dan jalan Fitzwillian. Salah satu contoh bangunan yang merepresentasikan keindahan masa lalu adalah bangunan kastil Dublin dan kastil Malahide yang berada di utara dari pusat kota.

Yang nampak kemudian adalah arsitektur bangunan-bangunan di Dublin  sebagai perpaduan jaman medieval dengan arsitektur kontemporer. Atmosfirnya pun memang lain dengan Belfast yang di utara pulau Irlandia. Dublin lebih terlihat multikultural dan masih menyenangkan bagi kita yang suka plesir karena penduduknya yang ramah. Saya merasakan kehangatan itu, ketika melintasi pub-pub yang umumnya berada di pojok jalan. Ketika saya mencoba untuk mengambil gambar pub tersebut dari luar, karena arsitektur Georgianya yang unik  dengan pintu bercat warna-warni mencolok mata, beberapa pengunjung di dalam dengan hangat menyapa. Diantaranya mereka meminta saya untuk masuk dengan mengacungkan gelas-gelas bir hitam Guiness, bir kebanggaan rakyat Irlandia.

Romantika masa lalu Dublin terasakan saat mengunjungi universitas Trinity yang boleh dikatakan sebagai salah satu tonggak sejarah kota Dublin. Bangunan tua yang selalu dikunjungi turis ini didirikan ratu Elizabeth I pada tahun 1592. Sampai kini bangunannya terawat bersih putih dan auditoriumnya sering digunakan sebagai tempat resepsi perkawinan. Wisatawan tertarik masuk ke areal universitas yang cukup besar ini karena ingin melihat Book of Kells,  naskah tertua yang diciptakan biarawan sekitar tahun 800. Ini adalah buku tertua di dunia dan merupakan yang terindah yang sampai sekarang tersimpan dengan rapi  di gedung perpustakaan lama.

Setelah mengunjungi beberapa obyek wisata di Dublin saya sampai pada kesimpulan, baik Irlandia utara maupun selatan sama-sama menariknya. Pesona wisata, kehangatan penduduknya, warisan budayanya sama-sama layak untuk direkomendasikan untuk dikunjungi. Yang membedakan, Irlandia Utara relatif utara  sepi dan biaya hidup yang lebih terjangkau. Sayangnya wisatawan masih dihinggapi rasa kuatir dengan konotasi negatif  Belfast.

6 thoughts on “Dublin, Pekatnya Bir Hitam dan Alunan Musik Tradisional

  1. saya mau pindah ke irlandia di sana saya tinggal dengan keluarga yang menerima saya disana kira-kira akomadasi di sana berapa{rata-rata} sama makanan di sana mahal gak

  2. dear Hendra.

    biaya di Dublin lumayan mahal ya namanya juga ibukota negara. Emang gak sebesar London sih. Untuk akomodasi kira-kira kalau di Rp sekitar 6 jt per hullan. makanan tergantung jika mau masak sendiri tentunya lebih murah. Sebagai perbandingan untuk makan yang dibeli di restoran yang bisa dibawa pulang (take away) sekitar 56 sampai 60 ribu per porsi (semacam chinese food) sedangkan kalaiu masak sendiri sekitar Rp 22 ribu udah bisa dimakan sehari makan 3 kali. harga-harga bahan makanan dan sayuran mentah tentunya lebih murah bahkan seringkali lebih murah dari negri kita. oke? semoga ini bisa memberi sedikit gambaran. thanks

Leave a comment