Dublin, Pekatnya Bir Hitam dan Alunan Musik Tradisional


Di depan unibersitas Trinity Dublin

Mengunjungi Dublin, Republik Irlandia bagi saya adalah hal  tak terduga. Kesempatan itu muncul manakala saya memanfaatkan program Host, sebuah program  khusus bagi mahasiswa asing untuk tinggal pada sebuah keluarga di Irlandia Utara pada akhir pekan. Program ini gratis dan enaknya mahasiswa diajak  berdarmawisata oleh keluarga yang menerima.

Kebetulan keluarga Danny Ennis yang menerima saya, tinggal di sebuah kawasan wisata yang berdekatan dengan wilayah teritorial Irlandia Selatan. Tepatnya di kota Newcastle, tenggara Belfast. Awalnya saya kuatir juga ketika diajak ke Dublin karena saya tidak punya visa. Namun keluarga Ennis, meyakinkan untuk tenang karena tidak akan ada pemeriksaan imigrasi bagi warga Irlandia Utara yang melintasi perbatasan dua negara.

Lebih setengah jam berkendaran, kami sudah masuk wilayah Republik Irlandia persisnya melintasi  kota Dundalk, kota asal kelompok musik The Corrs. Tidak menyangka kota sekecil ini namun elok, melahirkan kelompok musik ternama. ”Tidak usah kaget, musik bagi orang Irlandia seperti bagian yang tak terpisahkan dalam hidup,”ujar Danny.

Rasa kuatir tertangkap petugas imigrasi terlupakan manakala pemandangan alam pedesaan menuju Dublin begitu menarik perhatian mata. Rumah-rumah bercat putih dengan taman bunganya yang berwarna-warni menghiasi panorama negeri asal sastrawan George Bernard Shaw dan Oscar Wilde ini. Satu setengah jam kemudian barulah memasuki gerbang kota Dublin.

Laju mobil sedan yang kami tumpangi tersendat saat melintas O’Connell street, jalan protokol utama Dublin. Di jalan yang panjangnya sekitar satu setengah kilometer ini denyut kehidupan Dublin sangat terasa. Ramai, hiruk pikuk. Bangunan kuno, seperti museum, bangunan kantor pemerintahan dengan bendera Irlandia hijau putih merah secara vertikal, pusat hiburan, restoran besar, mall nampak berderet. Sementara  toko cenderamata khas Irlandia nampak mencolok mata dengan display etalasenya lengkap dengan suara musik tradisional. Semua papan nama tempat, jalan serta informasi lainnya ditulis dalam dua bahasa; Inggris dan Gaelic bahasa ibu Irlandia.

Ibukota Republik Irlandia ini–layaknya kota-kota besar di Eropa barat — adalah sangat sibuk dan mahal. Harga-harga barang rasanya setara dengan London yang kalau di kurs rupiah membuat dahi berkerut. ”Dulu biaya hidup di Dublin masih murah. Namun sejak negeri ini bergabung dengan Uni Eropa dan memberlakukan mata uang tunggal Euro, harga-harga serasa berlompatan,”Danny menjelaskan.

Nafas wisata Dublin  terasakan dengan hadirnya turis  berbagai bangsa dengan bahasa dan dialek yang terdengar asing di telinga.  Bus-bus wisata dengan model open top sarat  turis nampak berlalu lalang mengeksplorasi keindahan setiap sudut kota.

Danny yang memandu saya menyebutkan, Dublin mengalami transformasi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir.  Wajah Dublin yang merupakan ibukota zaman medieval menjadi kota kosmopolitan. Perekonomian Irlandia selatan maju pesat karena pemerintah memberikan insentif yang menarik bagi kehadiran penguasaha yang bergerak di sektor teknologi informasi.

Sebuah sudut kota Dublin

Warga Irlandia yang banyak beremigrasi ke berbagai negara banyak yang kembali seiring dengan pertumbuhan ekonomi Irlandia yang pesat. Seorang rekan di BBC Irlandia Utara menuturkan, sekitar dua dekade lalu serasa sulit mendapat kerja di Dublin. ”Saya sampai merantau ke Praha, Republik Ceko untuk menjadi guru bahasa Inggris. Namun tahun 1990-an saya kembali ke Dublin karena banyak lapangan pekerjaan tersedia.”

Potret kehidupan modern dan tradisional kini membingkai wajah  Dublin. Hotel berbintang, cafe dan restoran modern berdampingan dengan kedai-kedai minum tradisional dan guest house yang menawarkan keramahan.  Jika boleh berasumsi, sebenarnya kedai-kedai minum tradisional inilah yang memikat dan menggerakan hati wisatawan mengunjungi Dublin. Bukan simbol-simbol kehidupan modern yang notabene bisa dijumpai di banyak negara.

Kalau mau merasakan nikmatnya bir hitam Guiness, mungkin disinilah tempatnya. Selain karena bir itu buatan asli Irlandia selatan juga atmosfir bar membangun aura pengunjung untuk menikmati minuman khas tersebut. Bar dan pub tradisional nampak selalu ramai di Dublin. Suasananya hidup dengan sajian musik Irlandia yang kental. Dibandingkan dengan kota-kota di Eropa daratan, daya tarik arsitektur di Dublin memang tidak terlalu istemewa, namun kehidupan malam di bar-bar itulah yang membuat Dublin tampak menarik dan kelihatan berbeda. Bar-bar tradisional yang banyak berserakan di setiap sudut jalan ini umumnya buka sampai pukul 03.00 dinihari.

Kami merasakan suasana khas Irlandia saat masuk ke satu bar yang cukup populer, Temple Bar yang ada di pusat kota. Bar ini menyajikan, sajian musik hidup yang diambil dari lagu-lagunya kelompok musik Dubliners, kelompok asal Irlandia yang khusus membawakan lagu-lagu rakyat Irlandia selatan. Kelompok pemusik tradisional yang beranggotan  lima orang itu memainkan instrumen musik bodum (perkusi khas Irlandia), mandolin, seruling dan  biola ini di panggung yang disediakan

Di bar ini selain sajian musik yang  dipertontonkan juga diiringi dengan  Irish step dancer, jenis tarian musik yang menonjolkan hentakan  kaki pada lantai yang berirama. Para pengunjung baik itu penduduk lokal maupun turis berbaur dan nampak asyik dengan gelas-gelas birnya, larut dalam suasana yang riang. Alunan musik berbaur dengan suara gaduh pengunjung dan dentingan gelas.

Book of Kelt

Seperti umumnya kota-kota di Eropa, sungai menjadi tonggak pembangunan sebuah kota. Jika London, ada Thames, Praha dilalui Vltava, Budapest ditembus Danube, Paris mempunyai Seine, Roma dialiri  Tiber, maka Dublin dibelah sungai Liffey. Sungai itu memang tidak besar dan airnya tidak sejernih Vltava namun dari pinggiran sungai inilah kehidupan Dublin dulunya bermula.

Liffey yang terletak di ujung jalan protokol O’Connell dari dulu sampai jaman sekarang menjadi pusat aktivitas Dublin. Walaupun pemandangan di sepanjang aliran sungai ini jauh dari kesan elok dan menarik, namun ini menjadi tempat yang bagus untuk memulai mengetahui sisi-sisi kota.

Liffey membelah Dublin jadi dua bagian. Di bagian selatan sungai, banyak bermunculan infrastruktur pariwisata dan bangunan baru, hasil pertumbuhan ekonomi Dublin yang begitu cepat. Hotel, kafe-kafe trendi dan pusat perbelanjaan. Di bagian utara relatif tidak banyak tersentuh atau terpengaruh oleh ekonomi informasi. Cita rasa kota tua masih terlihat kental karena masih dengan mudah ditemukan bangunan yang menggunakan arsitektur abad 18 dan tempat-tempat historis lainnya. Banyak rumah-rumah di daerah ini yang merupakan contoh arsitektur Georgia seperti yang ditemui di sekitar Merrion Square dan jalan Fitzwillian. Salah satu contoh bangunan yang merepresentasikan keindahan masa lalu adalah bangunan kastil Dublin dan kastil Malahide yang berada di utara dari pusat kota.

Yang nampak kemudian adalah arsitektur bangunan-bangunan di Dublin  sebagai perpaduan jaman medieval dengan arsitektur kontemporer. Atmosfirnya pun memang lain dengan Belfast yang di utara pulau Irlandia. Dublin lebih terlihat multikultural dan masih menyenangkan bagi kita yang suka plesir karena penduduknya yang ramah. Saya merasakan kehangatan itu, ketika melintasi pub-pub yang umumnya berada di pojok jalan. Ketika saya mencoba untuk mengambil gambar pub tersebut dari luar, karena arsitektur Georgianya yang unik  dengan pintu bercat warna-warni mencolok mata, beberapa pengunjung di dalam dengan hangat menyapa. Diantaranya mereka meminta saya untuk masuk dengan mengacungkan gelas-gelas bir hitam Guiness, bir kebanggaan rakyat Irlandia.

Romantika masa lalu Dublin terasakan saat mengunjungi universitas Trinity yang boleh dikatakan sebagai salah satu tonggak sejarah kota Dublin. Bangunan tua yang selalu dikunjungi turis ini didirikan ratu Elizabeth I pada tahun 1592. Sampai kini bangunannya terawat bersih putih dan auditoriumnya sering digunakan sebagai tempat resepsi perkawinan. Wisatawan tertarik masuk ke areal universitas yang cukup besar ini karena ingin melihat Book of Kells,  naskah tertua yang diciptakan biarawan sekitar tahun 800. Ini adalah buku tertua di dunia dan merupakan yang terindah yang sampai sekarang tersimpan dengan rapi  di gedung perpustakaan lama.

Setelah mengunjungi beberapa obyek wisata di Dublin saya sampai pada kesimpulan, baik Irlandia utara maupun selatan sama-sama menariknya. Pesona wisata, kehangatan penduduknya, warisan budayanya sama-sama layak untuk direkomendasikan untuk dikunjungi. Yang membedakan, Irlandia Utara relatif utara  sepi dan biaya hidup yang lebih terjangkau. Sayangnya wisatawan masih dihinggapi rasa kuatir dengan konotasi negatif  Belfast.

Belfast, Irlandia Utara Mutiara Wisata di tengah Sejarah Kekerasan Masa Lalu


Awalnya muncul rasa ragu saat undangan mengunjungi Belfast, Irlandia Utara datang. Rasanya, stereotip negeri konflik di kepala susah dihapus. Apalagi beberapa teman Inggris terus wanti-wanti agar saya senantiasa waspada jika nekat ke Irlandia Utara. Namun keinginan kuat berkunjung mengalahkan segalanya.

”Halo saya keluarga Ennis dari Irlandia Utara. Saya menerima permohonan anda berakhir pekan di rumah. Beritahu kapan datang, kami akan menjemput anda,”suara di seberang telpon begitu ramah menyapa, di awal musim semi. Basa-basi itu pun berlanjut penuh persahabatan. Begitu hangatnya orang Irlandia, pikir saya.

Sebagai mahasiswa asing di Inggris, saya memang diberi kesempatan untuk menginap di sebuah keluarga Inggris selama akhir pekan. Adalah program Host yang memfasilitasi kegiatan ini. Tujuannya agar mahasiswa punya kesempatan mengetahui budaya hidup orang Inggris sehari-hari dan menjalin persahabatan internasional.

Lewat internet saya mendaftarkan diri. Di formulir, pada kolom isian daerah asal keluarga yang paling diminati, saya menulis Irlandia Utara. Sejak dulu saya memang ingin mengunjungi daerah yang banyak muncul di berita TV, atau koran karena konflik sektarian antara IRA dan pemerintah Inggris. Saya ingin membuktikan sedemikian kerasnyakah, kehidupan di Irlandia Utara.

Dua minggu kemudian, aplikasi saya disetujui dan undangan itu pun datang. Musim semi di bulan Maret, saat lanskap alam Inggris begitu indah saya bertolak ke Belfast. Dari Manchester, saya pilih perjalanan darat ke pelabuhan Stanrear yang masuk wilayah Skotlandia. Selanjutnya menyebrang selat Irlandia, dengan begitu saya bisa melihat hal lebih banyak.

Dibanding dengan wilayah lain di Inggris Raya, pengamanan memasuki Irlandia Utara termasuk ketat. Sebelum menaiki Ferry, setiap penumpang (baik asing maupun orang Inggris) harus melewati pos keamanan. Mereka harus menunjukkan kartu identitas, termasuk kelengkapan tiket tentu saja.

pantai Newcastle Irlandia utara

”Ada urusan apa anda ke Irlandia Utara? Silahkan keluarkan pasport,”perintah petugas saat giliran saya melapor. Untungnya semua urusan berjalan lancar. Petugas tidak bertanya lebih lanjut ketika saya jelaskan soal tujuan kunjungan. Saya pun dipersilahkan boarding setelah foto pasport diteliti secara seksama dengan wajah saya.

Waktu sekitar satu setengah jam serasa berlalu begitu cepat di dalam ferry yang begitu mewah ini. Laju kapal ferry yang cukup besar ini terasa cepat. Tahu-tahu sudah merapat di dermaga Belfast. Seorang laki-laki gemuk, mengacungkan kertas berlogo Host dengan nama saya dibawahnya, berdiri tegap di pintu kedatangan pelabuhan Belfast. Ah……..itu pasti keluarga Ennis.

”Selamat datang di Irlandia Utara. Saya akan tunjukkan anda Irlandia yang sebenarnya,”sapa Danny Ennis. Begitu ramah dan hangat pasangan suami istri itu menyambut. Sejenak seperti bertemu teman lama saja rasanya. Bayangan negatif Belfast dan Irlandia Utara mulai menguap perlahan.

Sebelum menuju Newcastle, kota rumah pasangan keluarga yang berlokasi di tenggara Irlandia Utara kami diajak mengelilingi kota Belfast. Kotanya bersih, indah, tenang, jauh dari hiruk pikuk. Gedung-gedung tua terawat rapi, dengan cat putih bersih. Di beberapa sudut kota, tepatnya di tembok-tembok rumah atau gedung pemerintahan terdapat lukisan mural yang menggambarkan prajurit menenteng senjata dengan tulisan-tulisan yang mengobarkan semangat juang. Inilah sisa-sisa sejarah masa lalu yang membungkus Belfast.

”Jangan anda terpengaruh penilaian negatif oleh media tentang negeri kami. Irlandia Utara tidak seburuk yang digambarkan. Kekerasan itu ada dimana-mana tidak hanya disini. Mayoritas warga Irlandia ingin damai, karena perlu terus hidup. Mereka punya keluarga yang harus diberi makan dan ada tunggakan yang harus dibayar. Hidup tidak akan normal jika kekerasan terus berkecamuk,”papar Danny seperti menjawab pikiranku.

Jika ditotal hampir tiga minggu lamanya saya berada di Irlandia Utara. Selain mengunjungi rumah Danny dan Phylis Ennis ada juga proyek pribadi menyelesaikan tugas kuliah dari kampus. Selama itu pula baik sendirian maupun dengan keluarga Ennis saya mengeksplorasi keindahan dan budaya di Irlandia Utara.

Negeri yang Ramah

Newcastle Irlandia Utara dengan backgroung gining Mourne


Sejarah masa silamnya yang agak kelam membuat Belfast dan kawasan lain di Irlandia Utara seraya dijauhi oleh wisatawan. Kota penuh gejolak, rusuh dan kota perang, kelompok IRA adalah deretan kata yang melekat di kawasan itu. Nyatanya Belfast dan kota-kota kecil lainnya di Irlandia sangat indah, aman, nyaman, tenang dengan penduduknya yang sangat ramah.

Perjanjian Good Friday yang disepakati pemerintah Inggris dengan faksi-faksi yang bertikai di Irlandia Utara telah membuat kawasan Irlandia Utara aman, dan kondusif, Namun begitu tetap aja geliat pariwisata di tempat ini seakan jalan di tempat. Jauh hingar bingarnya jika dibandingkan dengan Irlandia Selatan. Jika di bagian selatan khususnya kota Dublin, begitu ramai, multikultural dan hidup dengan arus turis, maka Belfast relatif tenang. Padahal dari sisi keindahan alam, dan obyek wisata yang dipunyai, Irlandia Utara punya banyak kelebihan.

Bangunan-bangunan tua bersejarah, kastil-kastil milik bangsawan tempo dulu yang terjaga keindahannya, panggung teater, keindahan alam, jelitanya suasana pedesaan, gunung dan laut semuanya bisa didapati dengan mudah di sini. Bahkan dalam beberapa hal kawasan ini lebih menarik dibandingkan daratan Inggris sendiri.

Menyusuri jalanan ibukota Irlandia Utara, Belfast seperti menapak tilas sejarah. Sedikit sekali ditemukan bangunan baru dengan arsitektur modern. Gedung-gedungnya kuno, bersih dan terawat rapi seperti gedung Belfast City Hall yang terletak di jantung kota. Begitu juga galangan kapal yang melahirkan kapal legendaris Titanic, masih berdiri tegak di ujung teluk Belfast. Galangan kapal itu masih aktif beroperasi dan sedang merampungkan proyek kapal berukuran sedang serta peralatan pengeboran minyak lepas pantai.

”Titanic dengan catatan sejarahnya yang fenomenal adalah kebanggaan warga Irlandia Utara. Ia dilahirkan di Belfast sini. Entah karena kutukan atau bukan yang jelas Titanic dengan Britania serta satu lagi kapal seukuran yang dibuat galangan kapal ini bernasib sama jeleknya,”ujar Danny yang memandu saya.

Dari Albert Clock, menara jam yang berdiri di jantung kota Belfast kami menuju ke sungai Lagan yang membelah kota Belfast. Di tempat ini kami menikmati perjalanan air dengan fery wisata di sekitar muara. Dari aliran sungai yang berair jernih, khususnya yang dekat muara, wisatawan bisa melihat bangunan-bangunan kuno yang bersanding dengan pusat hiburan modern. Puluhan angsa putih bebas berenang di tepian. Nyaman dan tenang. Semua suguhan visual kota pun terekam.

Berikutnya kami ganti menuju ke sebuah bukit yang di atasnya berdiri Belfast castle, 5 km arah barat daya kota. Banguan kastil ini menghadap ke teluk Belfast atau Belfast Lough yang berair biru jernih. Bangunannya indah, bersih dengan taman bunga disamping kanan kiri dan depan kastil. Seiring perubahan jaman kastil ini juga berubah fungsi. Bangunan ini selain jadi obyek wisata ditawarkan juga kepada perorangan yang ingin menggunakan sebagai tempat resepsi pernikahan untuk merasakan atmosfir pernikahan ala bangsawan tempo dulu .

Pada saat musim semi, lanskap kastil makin menarik karena aneka bunga dengan berbagai warna. Selain memperelok pemandangan juga rribuan bunga itu menaburkan aroma harum. Sementara di latar depan, tepatnya teluk Belfast, hilir mudik kapal berbagai ukuran yang datang dan pergi ke daratan Skotlandia dan Inggris. Panorama yang tersaji bak post-card hidup yang langsung tersimpan dalam memori. Tak heran bila stres menguap, detak jantung memelan beraturan, dan rasa santai menguasai diri.

Antrim Coast

Daya tarik wisata Irlandia Utara tidak hanya sebatas Belfast, tetapi juga kota-kota kecil khususnya yang terletak di pesisir pantai. Ada satu kawasan yang menjadi destinasi paling diminati para turis yang berkunjung di Irlandia yakni Antrim Coast. Daerah ini membentang dari timur laut pulau Irlandia Utara sampai ke ujung utara.

Dari Belfast, saya menumpang bus Antrim Coaster nomor layanan 252 seharga 9 pundsterling (sekitar Rp 144. ribu) pp. Perjalanan ini total hampir sehari penuh termasuk istirahatnya. Di sepanjang perjalanan di kawasan ini mata seraya tak mengenal kata bosan untuk menatap jelitanya pemandangan alam. Suasana alam pedesaan yang hijau dengan ratusan biri-birinya yang terlihat seperti titik-titik putih di kajauhan menyambung dengan daerah pesisir yang berkarang terjal. Begitu juga kota-kota mungil yang dilaluinya begitu elok. Bukan hanya tata kotanya, namun bangunan khas Irlandia dengan arsitektur georgianya serta kedai-kedai minum yang menyajikan musik hidup Irlandia menarik perhatian.

Kota pertama yang dilewati adalah Carrickfergus, kota kecil tertua di Irlandia Utara. Tempat ini sangat terkenal dengan kastil Anglo-Normannya. Melihat bangunan serta asesori yang masih melekat bisa ditebak, kalau kastil dipinggir pantai ini sebuah benteng pertahanan. Didalamnya terdapat meriam dan ruang jaga yang dilengkapi dengan teropong jauh. Kabarnya dari kastil benteng inilah, warga kota ini mempertahankan diri dari serangan musuh pada jaman dulu.

Melewati Carrickfergus berturut-turut kota kecil Carnlough, Cushendall, Cushendun dan Ballycastle. Kota-kota mungil nan elok ini merupakan kota pantai yang terselip diantara perbukitan yang hijau. Warna laut yang biru toska dan warna putih yang mendominasi wajah kota serta hijaunya alam perbukitan di sebelahnya adalah konfigurasi warna yang menambah jelitanya lanskap kota-kota tersebut.

Kota-kota ini merupakan titik awal menuju Giant Causeway, highlight wisata Irlandia Utara. Giant Causeway adalah daerah pantai dengan batu karangnya yang sangat spesifik dan mungkin satu-satunya yang ada di dunia. Batu-batu karang ini berbentuk heksagonal yang tertata rapi. Jika tidak membaca buku panduan wisata yang tersedia di tempat itu, wisatawan mungkin akan mengira semua batuan heksagonal itu sengaja disusun. Padahal formasi itu merupakan proses alam. Dari catatan yang ada setidaknya ada sekitar 38 ribu batu karang berbentuk heksagonal. Karena bentuknya yang unik inilah maka ribuan wisatawan tertarik mengunjunginya. Mereka tumpah ke pantai ini pada musim panas untuk melihat tumpukan misterius dari batu-batuan ini yang mempunyai legenda tersendiri.

Akhir rangkain rute Antrim Coast yang menjadi peristirahan terakhir adalah kota Portrush dan Portstewart. Dua tempat ini berdekatan. Suasananya mengingatkan saya pada Kuta Bali. Rumah tinggal dan penginapan murah bercat putih berderet rapi di pinggir jalan. Sejajar dengan jalan yang dipenuhi pusat hiburan seperti rollercoaster, permainan ketangkasan, aneka hiburan malam dan aneka toko cendermata terbentang pantai landai sejauh kurang lebih 5 kilometer. Turis pun bisa menikmati eloknya sunset. Bedanya dengan Kuta, kita yang terbiasa iklim tropis tidak bisa melakukan aktivitas mandi di pantai. Bukan karena arus atau gelombang tapi suhu air yang dingin, bahkan pada musim panas sekalipun. Bagi kita yang sering bermandi matahari, kalau pun nyebur ke laut, paling tidak akan betah berendam sampai lima menit.

Silent Valley, si Lembah Sunyi

Empat hari di rumah keluarga Ennis, di daerah wisata Newcastle benar-benar sebuah harmoni antara liburan dan pertukaran budaya. Di rumahnya yang asri dengan arsitektur konservatory, rumah beratap kaca hingga bisa melihat taburan bintang di malam hari, kami saling bertukar informasi tentang negara masing-masing. Saya pun makin memahami karakter budaya orang Irlandia yang pada dasarnya sangat terbuka dan menerima dunia. Ini mempengaruhi cara mereka mengatasi persoalan. Keterbukaan dalam hidup mereka sehari-hari disuburkan dalam kultur mereka. Ini juga yang membuat Irish tidak repot-repot memelihara dendam dan terseret peliknya persoalan yang bersifat politis. Satu hal yang tidak biasa mengingat beberapa dasawarsa lalu mereka mengalami konflik fisik dan batin.

”Kami semua disini mencoba melupakan luka-luka dendam politis masa lalu. Masyarakat Newcastle misalnya lebih berkonsentrasi bagaimana kotanya terus dikunjungi wisatawan agar industri disini terus bergerak,”ujar Danny.

Kota Newcastle sebelah timur Belfast yang bisa ditempuh sejam perjalanan dengan bus dari ibukota Irlandia Utara merupakan salah satu kota wisata andalan. Kota ini menawarkan panorama laut dengan teluk Dundrumnya yang menawan. Keindahan Newcastle makin lengkap dengan kehadiran gunung Mourne yang terlihat begitu kokoh dari kejauhan. Lereng gunung ini begitu hijau dengan hutan pinus, sementara bagian puncaknya terlihat gersang dengan batu-batunya yang menonjol.

Kebetulan rumah keluarga Ennis berada di lereng gunung Mourne. Dari kamar tempat saya menginap, terlihat jelas panorama teluk Dundrum yang berair jernih. Di depannya terlihat jalan raya yang berkelok-kelok dan bangunan gereja, pub, pusat hiburan yang berderet rapi di pinggir pantai. Di belakang rumah hutan pinus menghijaukan gunung Mourne yang menyisahkan banyak legenda.

Di hari kedua kunjungan saya, keluarga Ennis mengajak mengunjungi gunung Mourne. Perjalanan itu sangat mengasyikkan, karena menembus alam desa yang hijau berbukit-bukit dan terlihat indah. Mengingatkan saya pada areal sawah di pulau Bali. Lima belas menit perjalanan, kami sampai pada sebuah danau besar di kaki gunung. Danau yang dikelilingi pohon pinus di pinggirnya terdapat sebuah taman yang cukup besar dengan aneka tanaman bunga berwarna-warni di dalamnya. Benar-benar sejuk dipandang mata.

Lembah ini dikenal dengan lembah sunyi atau Silent Valley. Sesuai namanya tempat ini sangat tenang. Air danau yang mengalir dari mata air gunung Mourne sangat jernih. Kabarnya danau ini digunakan sebagai penyimpanan untuk suplai air bersih penduduk sekitarnya dan masyarakat Belfast. Untuk mencapai puncak gunung disediakan sebuah angkutan bus, sehingga wisatawan tidak perlu bersusah-payah mendaki dan menembus hutan pinus. Cukup membayar 3 poundsterling pulang pergi. Sayangnya tidak banyak yang bisa dilihat dari atas gunung itu, kecuali sebuah dam besar.

Dari sini, kami menuruni gunung dan mengambil rute yang berbeda. Tujuannya adalah Bangor yang menawarkan hal berbeda. Sebagai waterfront town, Bangor sangat indah dengan pemandangan marinanya. Kapal-kapal pesiar dalam berbagai ukuran nampak bersandar di marina yang tertata begitu apik. Di sisi kiri dan kanan marina, puluhan rumah bercat putih dengan arsitektur kuno khas Irlandia berdiri kokoh di perbukitan. Mengunjungi kota ini, stereotip Irlandia Utara yang keras langsung pupus. Orang-orangnya sangat ramah menyapa. Perbedaan ras dan warna kulit membuat mereka ingin tahu lebih dekat darimana turis berasal. Obrolan hangat pun mengalir sembari duduk-duduk di bangku kayu di sisi marina.

Perjalanan menuju Bangor dari Belfast dengan menggunakan kereta api adalah pilihan terbaik. Panoramanya tidak akan membosankan. Jalur kereta yang menyusuri bukit memungkinkan kita bisa melihat teluk Belfast yang ramai dengan lalu lalang kapal-kapal niaga dan ferry. Sementara di udara nampak pesawat terbang hilir mudik yang siap landing di bandara Belfast city yang berlokasi di tepian teluk Belfast.

Kota Benteng

Kunjungan ke Irlandia Utara tidak akan terasa lengkap jika tidak mengunjungi kota Londonderry yang menyisahkan benteng tembok kota satu-satunya di bumi Irlandia. Ini adalah kota benteng yang dicatat sejarah sebagai kota yang tak bisa ditaklukan kaum musuh yang mengepung selama 105 hari. Tembok yang mengelilingi kota tua Londonderry mempunyai panjang sepanjang 1,6 kilometer (dibangun tahun 1613 dan selesai tahun 1618). Tebal temboknya mencapai 6 meteran. Di setiap sisinya berderet meriam-meriam kuno yang kalau dihitung jumlahnya lebih kurang 40 buah. Di sisi utara tembok, moncong deretan meriam kuno diarahkan ke sebuah perkampungan penduduk. Di usianya yang sudah empat abad ini, tembok kuno masih terlihat asli dan utuh. Kota Londonderry merupakan kota terbesar nomor dua di Irlandia Utara setelah Belfast. Letaknya di ujung utara pulau dan berdiri di bantaran muara sungai Folye. Dari Belfast kota ini mudah dicapai baik dengan kereta api atau bis. Memasuki kota dan melihat bentuk bentengnya, lorongnya, jalanan batu di atas bentengnya, sesaat saya seperti melintasi perjalanan waktu dan terlempar ke abad pertengahan. Hanya suara deru mobil mulus merek-merek terkenal Eropa yang lalu lalang di dalam kota benteng menyadarkan saya bahwa ini jaman modern. Kota benteng tua ini kalau mau jujur bukan untuk dinikmati keindahan, namun lebih pada sisi penghayatan. Bahwa sejarah pergolakan dan kekerasan seakan menjadi bagian inheren dari kota ini. Jika pada abad 17-an ada aksi pengepungan lebih dari tiga bulan dari pasukan Katholik yang mengharuskan penduduk kota berjuang habis-habisan mempertahankan diri, maka pada dasawarsa 70-an kota ini menjadi bagian dari perjuangan kaum IRA (tentara republik Irlandia) yang ingin memisahkan diri dari Inggris Raya. Kota Londonderry memang salah satu kota yang menyimpan banyak sejarah di Irlandia Utara. Kota ini juga menjadi saksi sejarah mobilitas penduduk Irlandia yang hendak meninggalkan pulau tersebut guna meraih kehidupan yang lebih baik. Dari kota inilah pada abad 18 dan abad 19, ratusan ribu penduduk Irlandia hengkang berimigrasi ke Dunia Baru, daratan Amerika. Mereka melakukan pelayaran trans-atlantik menuju Philadelphia, Carolina selatan, dan Charlestown di Amerika. Bahkan beberapa dari emigran tersebut membentuk koloni Derry atau Londonderry di benua impian, Amerika. Sejarah juga menulis, emigrasi dari kota ini makin menghebat, saat Irlandia mengalami kelangkaan pangan akibat kekeringan pada pertengahan abad 19. Mereka tidak hanya ke Amerika, tetapi juga merambah ke Kanada dan Australia.