Derry, Kota Benteng Tersisa di Tanah Irlandia


 

satu sudut benteng tembok London Derry

 

Dubrovnik, satu kota kecil di negeri Kroasia, selama ini lebih banyak dikenal orang sebagai kota benteng paling eksotik di daratan Eropa. Lokasi kota tuanya yang dikelilingi benteng kuno memang mempesona. Apalagi ia betengger tepat  di bibir pantai Adriatik yang elok hingga menjadi magnet tersendiri dalam menarik banyak pengunjung seantero jagad

 

Namun Dubrovnik bukan satu-satunya kota benteng  di  Eropa. Saingannya adalah Londonderry, populer dengan sebutan kota Derry saja. Ia berada di Irlandia Utara. Sayangnya eksistensi Dery kurang terdengar, karena  kota  ini lebih banyak diekspos sebagai kota sarat konflik. Karena reputasi itulah, maka banyak orang kurang kenal bahwa kota ini dipilih Civic Trust di London sebagai satu dari 10 kota di Inggris raya yang paling menyenangkan sebagai tempat tinggal.

Sekarang, cerita kelam itu hanya menjadi catatan hitam sejarah dan kota tembok ini kembali dalam suasana kondusif. Adanya gejolak politik masa lalu itulah, maka di pintu gerbang kota sampai didirikan sebuah patung persahabatan yang menggambarkan dua orang hendak berjabat-tangan. Sebuah simbol yang bisa dimaknai agar kaum muda belajar dari masa lalu.

Kota benteng Derry,  satu-satunya kota tembok  di Irlandia ini, dicatat sejarah sebagai kota yang tak bisa ditaklukan kaum musuh yang mengepung selama 105 hari.  Kini setelah empat ratus tahun  didirikan, Londonderry masih tetap eksis dengan bentuknya yang asli dan mulai dibanjiri wisatawan.

 

salah satu pintu gerbang masuk kota benteng London Derry

Dari brosur wisata yang saya comot di pusat informasi wisata, setidaknya gambaran  dasar kota tembok dengan muatan sejarahnya dapat saya tangkap.  Bahwa tembok kota sepanjang 1,6 kilometer– dibangun tahun 1613 dan selesai tahun 1618–dikatakan  sebagai satu-satunya yang masih tersisa utuh di Irlandia. Tebal temboknya mencapai 6 meteran. Kota benteng ini juga diklaim sebagai salah satu contoh kota tembok terbaik di daratan Eropa. Bahwa beberapa sudut bagian kota lamanya yang berada dalam lingkaran benteng dipenuhi dengan museum, galeri, pusat kerajinan, pusat data kota, gereja dan bangunan kuno lainnya.

Secara geografis Derry terletak di ujung paling utara pulau Irlandia. Tahun 1921 dengan ditekennya pembagian Irlandia, secara tak terduga Derry dijadikan kota perbatasan yang memisahkan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Ini kota terbesar nomor dua di Irlandia Utara setelah Belfast. Berdiri di atas bukit di bantaran muara sungai Folye yang memisahkan semenanjung Donegal, kota ini berhadapan dengan lautan Atlantik. Kata Derry berasal dari kata Irlandia kuno, Daire yang berarti hutan Oak dan  jadi  tempat keramat bagi bangsa Celtic.

Saya mengunjungi Derry setelah membaca sebuah informasi di koran terbitan Irlandia Utara, bahwa di kota itu diadakan perayaan memperingati pembebasan kota tembok setelah aksi pengepungan bersejarah lebih dari 350 tahun yang lalu. Dari ibukota Irlandia Utara, Belfast, Derry dengan mudah dicapai. Dengan sebuah tiket kereta api terusan seharga 5 poundsterling (Rp 85 ribu) yang berlaku selama sehari penuh,  dan bisa dipakai untuk semua jurusan di Irlandia Utara, saya   bertandang ke kota kuno ini. Hanya perlu dua jam saja dari Belfast. Jika mau agak lama, bus adalah pilihan lainnya. Yang membedakan, rute bus adalah jalur favorit para turis, karena melewati Antrim Coast, sentra wisata yang terkenal keindahan alamnya di Irlandia Utara.

Kota masih terselimuti kabut tipis di pagi hari, saat kaki meninggalkan  stasiun kereta api Derry yang berada di bibir sungai Folye. Di hari Minggu pagi kota tua ini  masih belum menampakkan denyut kehidupannya. Jalanan masih lengang. Tidak nampak adanya tanda-tanda bahwa akan diadakan acara peringatan di kota itu.

Saya melewati sebuah jembatan besar di atas sungai Foyle yang begitu lebar. Jembatan ini merupakan pintu akses utama menuju Derry. Beberapa puluh meter selepas jembatan, beberapa bagian tembok kota ini sudah terlihat. Tidak nampak penuh memang karena terhalang oleh banyaknya bangunan yang didirikan  di luar tembok benteng tersebut. Keberadaannya tidak semencolok tembok besar Cina, namun cukup kontras dengan bangunan  di sekitarnya. Kokoh, gagah kendati mungil. Aslinya benteng kota ini punya empat pintu gerbang utama di sisi timur, barat, utara dan selatan. Setelah mengalami restorasi, tiga pintu  gerbang baru ditambahkan.

Bersama beberapa turis lainnya, saya  masuk lewat gerbang Ferryquay di sisi selatan. Melihat bentuk bentengnya, lorongnya, jalanan batu di atas bentengnya, sesaat saya seperti melintasi perjalanan waktu dan terlempar ke abad pertengahan. Hanya suara deru mobil mulus merek-merek terkenal Eropa yang lalu lalang di dalam kota benteng menyadarkan bahwa saya berada dalam ruang lingkup era modern.

Benteng Saksi Sejarah
Bentuk tembok benteng kota Londonderry seperti trapesium. Di setiap sisinya  berderet meriam-meriam kuno yang kalau dihitung jumlahnya lebih kurang 40 buah.  Di sisi utara tembok, moncong deretan  meriam kuno diarahkan ke sebuah  perkampungan penduduk yang dibatasi padang rumput yang cukup luas. Bisa jadi dulunya daerah itu merupakan arah pergerakan para musuh, sebelum perkampungan itu terbentuk. Itu baru sebatas hipotesis saya yang mesti dikonfirmasi dulu kebenarannya.  Di dalam area tembok benteng sendiri dibangun gedung pusat layanan riset bagi mereka yang ingin mendapatkan data tentang kota tembok tersebut serta sejarah yang terkandung dalam kota Londonderry. Kabarnya lebih dari sejuta catatan termuat dalam pusat data yang bisa diakses umum.

Bersama pengunjung lain, saya ikut-ikutan memasuki sebuah terowongan besar yang dibangun di dalam benteng tembok tersebut. Para pelancong rupanya banyak yang memanfaatkan lubang ini untuk napak tilas sejarah dan merasakan aura semangat juang warga Derry di masa lalu. Terowongan itu tidak terlalu besar, bahkan untuk ukuran orang Eropa yang tinggi besar, mereka harus menunduk agar tidak terbentur atap dinding rendah yang ada di beberapa.

Kota benteng tua ini kalau mau jujur bukan untuk dinikmati keindahan, namun lebih pada sisi penghayatan. Bahwa sejarah pergolakan dan kekerasan seakan menjadi bagian inheren dari kota ini. Jika pada abad 17-an ada aksi pengepungan lebih dari tiga bulan dari pasukan Katholik yang mengharuskan penduduk kota berjuang habis-habisan mempertahankan diri, maka pada dasawarsa 70-an kota ini menjadi bagian dari perjuangan kaum IRA (tentara republik Irlandia) yang ingin memisahkan diri dari Inggris Raya. Untunglah perjanjian Good Friday yang disodorkan pemerintah Inggris di London berdampak langsung pada ketenangan dan kedamaian di kota benteng itu.

Berdiri diantara meriam-meriam kuno yang moncong hitamnya berada di atas benteng, saya seperti terbawa arus ke pusaran konflik yang menyertai perjalanan sejarah kota tua ini.  Meriam-meriam, yang berderet rapi itu  masih terawat baik. Bahkan beberapa diantaranya yang berada di lokasi strategis nampak mengkilat, mungkin karena sering dipegang bahkan diduduki pengunjung.

Menurut Phylis seorang warga Derry penjaga kathedral St Columb, bangunan bergaya Gothic, pada dasarnya orang Dery sangat terbuka dan menerima dunia.  Keterbukaan dalam hidup mereka membuat warga kota kecil ini tidak repot-repot memelihara dendam dan terseret peliknya persoalan yang bersifat politis.

Kini sulit memang mencari tanda-tanda bekas adanya konflik pernah berkecamuk di daerah tersebut. Selama mengitari kota tersebut tidak nampak sekalipun tentara atau polisi berada di jalanan seperti umumnya kita lihat di kota semacam Jakarta. Warga Derry pun begitu ramah menyapa setiap pengunjung dan dengan sigap memberi informasi jika diperlukan. Mereka sadar kota mereka punya potensi wisata yang terbukti berkontribusi menggerakkan industri mereka.

Acara Ritual Tahunan
Menjelang tengah hari, kota ini makin hidup. Ratusan manusia memasuki gerbang kota untuk melihat acara ritual tahunan. Acara peringatan yang merupakan tradisi tahunan itu sendiri terlihat meriah. Kegiatannya di pusatkan di halaman gedung Guildhall, sebuah gedung yang dijadikan pusat budaya dan layanan sipil. Gedung bergaya Neo-Gothic  ini berdiri tepat di sisi tembok sebelah timur. Nuansa kultural, sangat kental terasa dalam perayaan  itu. Mereka yang hadir mengenakan busana kalangan aristokrat tempo dulu. Topi berumbai, rambut berhias wig keriting warna hitam dan keperakan yang biasa dilihat dalam ruang sidang di Inggris Raya serta pedang dan bayonet adalah aksesori yang melekat.

Aksi parade pasukan tempo dulu membuka acara. Sementara alunan lagu-lagu perjuangan rakyat Irlandia mengiringinya. Berbagai atraksi menghibur pengunjung melengkapi sajian gratis ini. Di sudut lain bagian benteng tembok, sekelompok seniman jalanan dengan instrumen gitar, cello, biola dan seruling memainkan lagu-lagu rakyat Irlandia.

Kota Londonderry memang salah satu kota yang menyimpan banyak sejarah di Irlandia Utara. Kota ini juga menjadi saksi sejarah mobilitas penduduk Irlandia yang hendak meninggalkan pulau tersebut guna meraih kehidupan yang lebih baik. Dari kota inilah  pada abad 18 dan abad 19, ratusan ribu penduduk Irlandia hengkang  berimigrasi ke  Dunia Baru, daratan Amerika. Mereka  melakukan pelayaran trans-atlantik menuju Philadelphia, Carolina selatan, dan Charlestown di Amerika. Bahkan beberapa dari emigran tersebut   membentuk koloni Derry atau Londonderry di benua impian, Amerika. Sejarah juga menulis, emigrasi dari kota ini makin menghebat, saat Irlandia mengalami kelangkaan pangan akibat kekeringan pada pertengahan  abad 19. Mereka tidak hanya ke Amerika, tetapi juga merambah ke Kanada dan Australia.

Covent Garden, Hiburan Murah ala London


London, Inggris. Betapa luasnya kota megapolitan ini. Rasanya satu dua hari saja tidaklah cukup menikmati sisi-sisi kota. Ibukota Inggris Raya ini tidak hanya punya gedung parlemen Westminster dengan menara jam Big Ben,  London Eye, istana Buckhingham atau Tower Bridge yang semuanya jadi ikon kota tua itu. Banyak hal ditawarkan. Nafas kehidupannya telah menarik banyak pengunjung seantero jagad.

Adalah fakta  kalau London dicatat sebagai salah satu kota termahal di dunia. Biaya hidup yang tinggi tercatat satu level di bawah Tokyo. Namun bukan berarti kota ini hanya akrab bagi kaum berduit. Mereka yang pas-pasan secara finansial pun bisa menikmati fasilitas hiburan di kota yang sangat materialistik ini. Boleh dikata gaya hidup hedonisme  London berlaku untuk semua kalangan dari berbagai strata sosial dan status ekonomi.

Sekedar ilustrasi, bagaimana seorang pecinta seni bisa menikmati ribuan mahakarya seniman lukis papan atas dunia di National Gallery, disamping Traffalgar Square secara gratis.  Di situ tergantung karya-karya milik Rembrant, Salvador Dalli, Monet, Lenoardo Da Vinci, Vincent Van Gogh dan sederet nama beken lainnya di abad 17 yang siap dipelototi. Tak perlu keluar duit sepeser pun menikmati isi perut geleri nasional London. Sebagai pembanding, untuk menikmati karya-karya Van Gogh di Amsterdam misalnya pengunjung dikutip biaya masuk.

Di musim panas, London bak lautan manusia. Turis dari berbagai penjuru bumi tumplek di kota ini.   Di jalanan bahasa dan dialek asing tertangkap indra pendengar. Bus kota dan kereta api bawah tanah yang dikenal dengan sebutan the Tube, selalu sarat. Jangan ditanya pengapnya  udara dalam the tube saat summer. Gerbong kereta tanpa pendingin itu laksana oven besar yang melaju di terowongan gelap yang serasa tak berujung. Belum lagi  aroma keringat penumpang ras kulit hitam yang menyengat, hingga  membuat hidup serasa tidak nyaman untuk sesaat.

Denyut kehidupan London saat kota ini disirami sinar matahari dalam satu paket yang utuh memang bergairah. Biasanya matahari hanya memberikan sinarnya saja, tetapi minus panasnya. Jadi kendati terang tapi tetap saja cuaca dingin. Musim panas pula membuat hari-hari di London terasa panjang karena matahari tenggelam pada pukul 11 malam.  Panggung theater masih memainkan lakon klasik Les Mirables atau Miss Saigon. Konser musik party in the park ramai digelar di Hyde Park, menampilkan kelompok musik ternama Blue, The Corrs, Bellefire dan sebagainya.

Hiburan Rakyat

Bersama rombongan tenaga kerja Indonesia ilegal yang hidup di London, saya menikmati atraksi hiburan murah meriah di london. Saat itu,  saya sedang melakukan riset kehidupan para pekerja migran asal negara kita yang tergolong pekerja gelap di London untuk tugas akhir studi di kampus. Mereka paham betul London dengan hiburan yang membumi. ”Enaknya banyak yang dinikmati gratis di London. Kalau bayar, mana mampu kita,”ujar seorang TKI gelap asal Madura yang memandu saya.

Dari stasiun bawah tanah Walthamstow tempat mereka banyak tinggal, kami naik Victoria line menuju Charing Cross. Melewati lorong-lorong stasiun underground yang diramaikan pengamen jalanan  suasana begitu menghibur dengan alunan lagu melankolis. Sampai di permukaan tanah terpampang suguhan visual  Traffalgar Square yang terkenal itu. Daerah yang biasa digunakan titik penting para demonstran ini, kesannya biasa saja bahkan jauh dari menarik. Selain  bising lantainya pun nampak jorok oleh kotoran burung merpati.

Dari tempat ini, kami berjalan kaki menuju Leicester square. Ini jantung kota London. Semua simbol kehidupan modern ada disini. Teater dan gedung bioskop megah tempat diputarnya premier film di London, letaknya tidak berjauhan. Menembus daerah pecinan tujuan utama kami adalah  Covent Garden tempat para seniman jalanan memamerkan kebolehannya.

Covent Garden tempatnya tidak terlalu luas. Jalanan menuju kawasan itu ditutup untuk kendaraan bermotor, sehingga para pejalan kaki bebas menikmati sajian menarik disisi kiri dan kanan jalan.  Mungkin kawasan ini seperti Harajuku di Tokyo yang pada hari-hari tertentu dijadikan ruang publik.

Siang itu di trotoar sudah banyak orang duduk-duduk menanti pertunjukkan gratis. Kami memilih duduk di sebuah kafe yang menghadap jalan besar dan memesan secangkir teh Inggris yang dicampur susu. ”Wah si Charlie Chaplin main lagi tuh. Dua hari lalu lalu,  ia sudah tampil,”celetuk rekan TKI yang menjadi responden penelitianku, menunjuk bule berpawakan kecil berpenampilan persis kayak komedian legendaris Charlie Chaplin lengkap dengan topi hitam, dasi kupu-kupu, tongkat dan kumisnya yang segaris vertikal.

Pengunjung tertawa dibuatnya oleh  gerakan-gerakan pantomin si Charlie yang memang kocak. Tepuk tangan terdengar ramai setiap kali si Chaplin  berhasil melakukan gerakan-gerakan akrobatik yang agak sulit. Selama pertunjukkan beberapa pengunjung menaruh koin di topi yang sengaja ditaruh  Chaplin.

Jalanan Covent Garden makin meriah diisi berbagai hiburan segar dengan hadirnya beberapa pemain baru. Mulai dari atraksi badut yang digemari banyak anak kecil, sajian musik tradisional suku Aborigin Australia dengan hiasan coreng moreng di tubuhnya, aksi para pemain akrobat,  sampai pertunjukkan kelompok musik jalanan. Boleh dibilang instrumen musik yang mereka bawa tidak ala kadarnya. Lagu-lagu bernada riang yang mereka bawakan dengan kualitas suara dan seni bermain musik yang bagus menambah suasana ceria Covent Garden. Hadirnya pemain baru ini membuat penonton terbagi dalam beberapa kelompok yang membentuk formasi lingkaran karena ingin mendapatkan hiburan dari jarak dekat sembari menaruh koin.

BBC London, siaran Indonesia pernah memberitakan, pemerintah kota London mengeluarkan ijin yang cukup ketat untuk mengontrol pertunjukan budaya jalanan ini. Juga pada pangamen yang bisa mangkal di koridor statiun bawah tanah. Para seniman harus mempunyai ijin sebelum mereka diperbolehkan manggung. Ada proses seleksi ketat dengan penetapan standar mutu. Alhasil suguhan  seni yang mereka pamerkan sudah lebih diatas rata-rata. Artinya pula mereka tidak boleh asal-asalan  memamerkan kebolehannya.

Sebelum kami beranjak pergi, karena suasana makin ramai dan tidak lagi bisa santai, salah seorang rekan berbisik, ”Lihat cewek di belakang kita. Itu khan aktris yang main di serial Sex and the City.” Saya pun menoleh dan melihat wajah manis artis Sarah Jessica Parker  berbaur di kerumunan massa melihat hiburan rakyat. Dibalut setelan jeans dan T-Shirt sang bintang  memang jauh dari kesan glamor Hollywood. Sang teman dengan guyon mengatakan, ”Itulah sisi enaknya London,  banyak tempat yang nyaman buat santai sembari dapat hiburan gratis. Kalau di Jakarta sulit.”

Kebesaran Romawi Tempo Dulu

Pukul 4 sore kami semua bergegas masuk stasiun bawah tanah, karena tidak mau ketinggalan pertunjukkan budaya lain di gedung British musium. Saat kami tiba, ternyata suasana sudah ramai. Banyak wisatawan asing dan lokal sudah nongkrong di halaman dan anak tangga gedung megah British musium. Umbul-umbul dan spanduk besar menginformasikan soal festival dan acara rutin hari itu.

Acara dimulai dengan tampilnya seorang ketua. Sementara para laskar  lengkap dengan persenjataan Romawi tempo dulu, tombak, tameng dan helm besi  berbaris rapi mendengar isi pidato  ketua yang duduk di singgasana. Dengan sekali aba-aba, laskar dan pasukan berkuda melakukan prosesi iring-iringan lengkap dengan segala panji-panji kebesaran bangsa Romawi. Mereka berjalan rapi mengelilingi halaman musium. Saat terompet ditiup dan gendang ditabuh, tampilah beberapa pasukan berkuda. Mereka berlari berkeliling arena dengan kecepatan sedang. Saya jadi terbawa suasana, seolah-olah melakukan perjalanan lintas waktu ke masa silam dan terdampar di tengah abad pertengahan.

Suasana semakin riuh dengan tepukan penonton saat pasukan berkuda menunjukkan atraksi ketangkasannya. Empat orang penunggang kuda berlomba menyarangkan tombaknya yang berkuruan sekitar 2,5 meter ke arah lubang kecil di papan kayu yang diletakkan di tengah halaman.  Atraksi itu yang jelas bukan perkara gampang, karena selain harus mengontrol lari kuda, si penunggang butuh konsentrasi penuh untuk memasukkan tombak dengan persis ke tengah papan.

Bukan perkara yang mudah pula bagi para pendekar berkuda tersebut untuk beraksi dengan kostum besi dan topeng baja serta sebuah tombak yang cukup panjang dan berat.  Jika tidak bisa menjaga keseimbangan bisa-bisa si penunggang kehilangan kontrol. Itu pula yang terjadi. Di tengah keriuhan penonton yang makin bersemangat, seorang joki terpeleset saat melemparkan tombaknya sementara sang kuda mempercepat laju larinya. Penonton terutama anak kecil yang dekat lokasi sampai menjerit dibuatnya. Acara selanjutnya memperagakan para prajurit melakukan adegan perang. Di sini kami disuguhi adegan bagaimana adu ketangkasan para prajurit memainkan tombak dan tamengnya untuk menangkis setiap gerakan musuh.

Hampir tiga jam penonton disuguhi hiburan segar gratis. Pada adegan penutup para laskar melakukan penghormatan kepada penonton dan  disambut tepukan meriah. Ketika hari menjemput senja, saat keriuhan itu menjadi keheningan, saya kembali ke rumah kos. Dalam perjalanan pulang, kurasakan fantasi kanak-kanakku muncul, menjadi seorang ksatria di tengah-tengah suasana masa  pertengahan.