Edinburgh, Si Jelita Skotlandia


Angin sejuk musim gugur berhembus di taman Princess, Edinburgh, Skotlandia.  Deretan pohon  mapel yang memisahkan rel kereta api di mulut  stasiun Weaverly dengan taman itu, nampak indah. Warna daunnya membentuk konfigurasi nan elok; kuning, jingga, merah darah, merah tua hingga coklat. Siap gugur menyambut musim dingin.

Saya tidak kuat berlama-lama di taman kota kelahiran penemu telepon, Alexander Graham Bell ini. Angin sejuk yang cenderung dingin, makin lama makin menusuk tulang. Melintasi  taman di kaki bukit karang yang kokoh dan  diatasnya bercokol kastil Edinburgh  yang anggun itu, adalah sensasi tersendiri di pagi hari. Orang tua, muda dan anak-anak  duduk-duduk di bangku taman yang berhias ribuan tanaman bunga berwarna-warni.

Penuh hati-hati saya berbasa-basi dengan mereka.   Masih terngiang di telinga, ucapan profesor saya asal Glasgow di kampus, ”Jika pergi ke Skotlandia, please, please, jangan sekali-kali menyebut Skotlandia adalah  Inggris.” Intonasi kata please benar-benar ditekankan. Maksudnya jelas. Orang Skotlandia tidak suka disamakan dengan orang Inggris. Mereka enggan berada dibawah bayang-bayang Inggris. Walau Skotlandia merupakan bagian dari Britania Raya, para Scottish sangat bangga dengan negerinya dan semua identitas kultural yang melekat pada negaranya.

Agak susah mengubah sikap mental dan membedakan Inggris dengan Skotlandia. Pertama karena lanskap alam yang tertangkap mata mirip-mirip dengan Inggris. Kedua perbatasan darat yang memisahkan dua negeri itu, membuat saya tidak sadar kalau sudah melintasinya. Tahu-tahu sudah  berada di wilayah negara lain.

*****

Berada di Edinburgh, seperti masuk ke pusaran waktu kebesaran aristokrat tempo dulu. Edinburgh Castle, istana raja Holyrood, royal museum, Calton Hill adalah beberapa ikon  sejarah lama kebangsawanan kota tua itu. Melintasi jalanan kota kuno dengan arsitektur gedungnya yang unik ini, seperti menyeberang ke lintasan waktu tahun 1700-an, bahkan di belakangnya.

Edinburgh memang punya banyak hal untuk dilihat. Kebesaran masa lalunya hanyalah salah satu dimensi daya tarik wisata Edinburgh. Sementara keindahan lanskap kotanya  dengan aneka  bangunan tua yang dibangun lebih dari empat abad lalu melengkapi sisi lain kemashuran kota pusat pemerintahan dan bisnis Skotlandia ini.

Dari taman, saya menyebrang jalan Princess, jalan utama di Edinburgh. Tujuannya Calton Hill, sebuah bukit kecil diujung timur jalan. Kulewati deretan pertokoan dan pengamen jalanan yang memakai Kilt– baju tradisional Skotlandia berbentuk rok dengan motif kotak-kotak warna merah atau  biru dan hitam–.dan sedang memainkan instrumen musik khas Skotlandia, big pipe.

Tidak sampai sepuluh menit mendaki, sampailah di bagian atas  Calton Hill. Diantara  belasan tiang tiruan Parthenon yang dibangun abad 19, kubuka rana kamera. Semua suguhan visual kota Edinburgh pun terekam. Begitu jelita. Kota ini bak post-card hidup yang langsung tersimpan dalam memori. Di sisi kiri, perbukitan Arthur’s Seat seraya tak putus mengawal. Di depan, bangunan kastil Edinburgh berdiri gagah  melatarbelakangi menara jam hotel Balmoral, monumen Nelson dan gedung observasi. Di sela-sela bangunan kuno, sulit mencari bangunan berasitektur modern. Tak heran bila stres menguap, detak jantung setelah mendaki memelan beraturan, dan rasa santai menguasai diri. Impresif satu kata ajektif yang tepat untuk menggambarkan lanskap Kota Edinburgh.

Edinburgh terbagi dalam dua zona; kota lama dan kota baru yang  dipisahkan  taman Princess. Sebagian besar pelancong umumnya memulai perjalanannya dari kota tua dengan landmark kastil Ediburgh. Sedang jalan Princess adalah jantung kota Edinburgh yang menyatukan semua simbol kehidupan tradisional dan modern.

Luasnya yang kalah jauh dengan Jakarta membuat kota ini mudah dikelilingi.  Berjalan kaki atau naik bus adalah dua pilihan yang sama menariknya.  Lokasi tempat wisata di Edinburgh tidaklah  berjauhan, mudah dijangkau dengan jalan kaki. Kalaupun rasa letih muncul tidaklah terasakan karena akan terkompensasi dengan hal-hal baru yang dilihat.  Bus wisata dengan atap terbuka lengkap dengan pemandu wisata bertarif  7 poundsterling (Rp 112 ribu) memulai awal turnya dari samping taman Princess Street atau depan pintu keluar stasiun kereta api, Weaverly. Mau yang murah meriah tinggal beli tiket terusan bis kota yang berlaku sehari penuh seharga 2,5 poundsterling (Rp 40 ribu).

Di kawasan kota lama, yang merupakan sisi terbaik Edinburgh,  banyak hal yang bisa dinikmati. Rumah-rumah berusia ratusan tahun milik bangsawan Skotlandia yang bergaya arsitektur Georgia tetap dilestarikan keindahan dan kebersihannya. Kastil Edinburgh tentu saja tak boleh dilupakan.  Bangunan di zaman Medieval dulunya  berfungsi sebagai barak militer, namun kini digunakan  kantor pusat angkatan bersenjata Inggris untuk divisi Skotlandia. Mahkota bertahtahkan permata yang digunakan pada saat penobatan raja-raja Skotlandia tempo dulu kini jadi pajangan yang banyak dipelototi turis. Dari tempat ini, tembakan meriam yang diarahkan ke jalan Princess menjadi  ritual harian yang banyak dinanti wisatawan.

Istana raja Holyroodhouse di sisi timur kota begitu megah. Bangunan indah bercat putih ini didirikan  sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan James IV. Istana anggun dan  cantik ini dulunya merupakan tempat tinggal ratu Skotlandia, Mary, ratu Victoria dan Pangeran Charlie. Di dalam istana yang kini dibuka untuk aktivitas  wisata ini terdapat sebuah galeri yang dipenuhi  potret Charles II dan kakek nenek moyangnya.  Sebagai cenderamata, luangkan waktu di gerai suvenir yang ada di pojok depan istana. Aneka barang yang berbau Holyrood, seperti miniatur gedung, gantungan kunci, taplak meja, lukisan dinding sampai piring-piring berhias istana siap dibungkus.

Ditemani rekan Bintang Aritonang yang studi di Universitas Edinburgh, kami meninggalkan Holyroodhouse, menembus padang rumput di sebelah istana itu. Arthur’s seat, sebuah bukit yang agak gersang di  tenggara kota menjadi tujuan kami. Dari kejauhan bukit ini nampak tenang. Namun semakin mendekati puncak, langkah kian berat dan jalan pun jadi gontai karena terpaan angin yang begitu kencang. Sayangnya harapan melihat eloknya pemandangan seluruh kota Edinburgh dari sudut yang berbeda di bukit ini tidak kesampaian. Cuaca tiba-tiba mendung. Kota pun tersaput warna abu-abu, diselimuti kabut tipis. Benar-benar tipikal cuaca Inggris Raya yang susah diprediksi. Empat musim dalam sehari!

Dari cerita yang beredar, Arthur’s seat dulunya tempat  perburuan  raja-raja Skotlandia yang bermukim di istana Holyroodhouse. Bukit seluas 650 hektare ini sendiri  awalnya  sebuah gunung yang meletus sekitar 350 juta tahun yang lalu. Tentu saja dalam  kunjungan ke bukit ini,  tidak ada sambutan dari hewan liar babi hutan yang dulunya jadi obyek buruan para bangsawan. Bisa jadi hewan-hewan ini tidak lagi betah karena habitatnya sudah disulap jadi taman-taman yang indah.

*******

Malam hari, Edinburgh bermandi cahaya lampu. Kami berdua menikmati kehidupan malam yang ditawarkan kota ini. Langkah pun mantap menuju The Doctors, sebuah bar kecil di sudut jalan, dekat universitas Edinburgh. Di jalanan, nuansa tradisonal dan modern nampak menyatu. Kendati muncul tren untuk mendisain ulang bentuk Edinburgh dengan kehadiran café-café yang chic, trendi dan modern, kehadiran pub-pub tradisional masih tetap dominan.

”Pingin mencicipi whisky Skotlandia? Ini menu khas bar-bar sini,”ujar Bintang. Kenapa tidak? Saya ingin bersikap adil,  tidak hanya mata yang saya manjakan, tetapi indra-indra yang lain pun harus berkesempatan menikmati perjalanan ini.  Promosi whisky Skotlandia yang gencar, lantas  menjadi godaan yang konstan. Mana bisa godaan itu ditolak.  Indra mencecap sudah setuju minuman ini dicoba.

Hiruk pikuk, dan riuh benar suasana dalam bar itu. Perlu kesabaran mendapatkan bangku kosong. Gelak tawa, obrolan keras pengunjung berbaur dengan alunan musik hidup memekakkan telinga yang dimainkan empat orang musisi. Luas ruangan makin terasa kecil dengan banyaknya pengunjung. Udara dingin yang terasakan di luar langsung tak berbekas. Ternyata saya bukan pecinta air api yang sejati. Minuman yang menimbulkan rasa penasaran itu, tidak menimbulkan selera setelah dicicipi sedikit. Aromanya  amburadul dalam indra penciuman saya. ”Ganti Coca-cola saja!”.

Semakin larut malam, perhatian saya bukannya pada sajian musik atau susana bar yang makin hidup, tetapi lebih pada seorang lelaki setengah tua yang duduk menyendiri. Susah menebak apakah dia mabuk atau  benar-benar menikmati musik. Duduk menunduk dengan mata terpejam. Kedua tanggannya bergerak-gerak seperti menirukan posisi orang memetik dawai gitar. Gelengan kepalanya  kian keras seirama dengan alunan musik yang terdengar.

”Kadang-kadang saya kasihan melihat prilaku orang Skotlandia. Banyak orang  kesepian di Edinburgh. Mereka membunuh waktu sepinya dengan mengunjungi bar,”Bintang berkomentar. Kalau mengingat budaya barat yang  umumnya orang tua jadi sendiri lagi, karena ditinggal anak-anaknya yang berangkat dewasa, bisa jadi benar penilaian temanku itu. Sebuah ironi, kesepian di tempat keramaian di sebuah kota yang amat jelita ini.