Menyisir obyek Wisata Alam Sembari Menuju Ijen


 

 

Jenuh dengan kehidupan kota yang hiruk pikuk dan ingin melarikan diri barang sejenak? Cobala melirik Bondowoso dan sekitarnya. Kabupaten ini punya berbagai spot tempat wisata yang bisa untuk mendinginkan pikiran dan membuat sejuk mata. Ia tidak hanya punya kawasan wisata Ijen yang jadi tujuan wisata wisatawan dari berbagai macam negara maupun daerah di Indonesia, tapi juga tempat-tempat lain yang menarik untuk dikunjungi. Enaknya lagi untuk menuju tempat-tempat ini bisa dihampiri selagi menuju ke Ijen. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui.ijen reuni (5)

 

Resort di kaki gunung, air terjun berair jernih plus air panas, bukit berumput seperti   film anak-anak Teletabis atau wisata offroad,, Bondowoso punya segalanya. Untuk menuju tempat-tempat ini infrastruktur jalan mulus dengan pemandangan perkebunan kopi dan hutan pinus di kiri kanan jalan.ijen reuni (6)

ijen reuni (10)

Perjalanan dari kota Bondowoso mengarah ke arah timur menuju kawasan Ijen. Di kilometer 45 km sajian visual mulai meyejukkan. Kanan kiri jalan penuh dengan perkebunan kopi Arabika dan hutan pinus. Seampainya di daerah Malabar, sempatkan sejenak mampir di kafe pinggir jalan yang dikelola kebun Jampit  milik PTPN XII. Disini bisa menikmati seduhan kopi Arabika yang nikmat sembari mengagumi deretan pegununan yang berederet-deret di  latar depan. Puas menyeduh kopi atau coklat perjalanan dilanjutkan ke Belawan yang jaraknya kurang lebih 3 km dari Malabar.IMG_0028

Berada di lembah gunung, Belawan   sejatinya adalah pabrik pengolahan biji kopi Arabika milik PTP. Sungai berair jernih mangalir deras di sampingnya. Unikmya air tersebut sangat dingin dan hangat. Untuk yang hangat beraroma belerang disalurkan melalui pipa-pipa. Pihak kebun malah membuat kolam mini dengan dua pilihan rasa. Hangat dan dingin yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk berendam, di bawah kolam sedikit terdapat air terjum, yang merupkan spot favorit bagi pengunjung untk berselfi ria. Bidikan kamera pastinya akan membuat visual yang indah untuk melengkapi koleksi gambar perjalanan. Karena air terjun ini terlihat bertingkat-tingkat, yang oleh sebagian orang disebut dengan Niagara Fall mini, di tengahnya dibuat jembatan melengkung untuk memberikan sudut terbaik bagi pemotretan.ijen reuni (25)

Untuk keperluan akomodasi pilihan menarik adalah Jampit Guest  House yang berlokasi 10 km arah selatan Belawan. Untuk menuju tempat ini ada bonus lain yang bisa didapat yakni obyek wisata Kawah Wurung. Jalan menuju ke tempat ini serasa offroad. Jika naik kendaraan roda 4 pastinya tidak ngantuk. Bagaimana bisa tidur jika badan akan dibanting ke kanan dan ke kiri karena jalanan tanah bebatu , berpasir dan naik turun. Ini sangat cocok agi mereka yang menyukai offroad. Di Kawah Wurung, sesuai namanya sebuah kawah besar yang  mirip seperti habis dihujam oleh meteor. Gambarannya mirip sebuah lapangan bola besar yang dikelilingi dinding bukit. Yang paling menarik, pada musim kemarau,  lkawasan di daerah ini dikelilingi padang savana yang sepi tanpa hunian rumah penduduk. Ini mengingatkan kita ada serial film TV lama ‘Little House on the Prairie’’.  Latar belakang di bingkai  bukit-bukit gundul berwarna hijau seperti bukit teletabies turut mempercantik  lanskap ini.  Belum lagi dataran kosong yang dipenuh dengan bunga-bunga liar berwarnah ungu yang bermekaran di bulan September. Indah, elok, eksotis adalah kata ajektif yang tepat untuk menggambarkannya.ijen reuni (40)

Guest Jampit sendiri sebagai  pilihan akomodasi adalah bangunan kuno yang dibangun di erah kolonial Belanda di tahun 1927 yang dikelilingi kebun bunga berwarna warni.  Bangunan vila dua lantai berkamar 4 bisa dipesan seharga Rp 2 juta per malam yang bisa memuat 30 orang. Cocok  untuk acara kumpul-kumpul atau reunian.  Di ruang tamu yang lebar dilengkapi perapian untuk menghantkan diri di malam hari yang suhunya bisa turun sekitar 10 derajat Celciusijen reuni (58)ijen reuni (47)

Tempat ini menjadi titik tolak yang menarik untuk menuju kawasan Ijen yang hanya berjarak sekitar kurang lebih 20 km di arah timur. Menuju Ijen dari Bondiowoso merupakan pilihan terbaik karena sepanjang perjalanan, wisatawan akan menadapat bonus atraksi wisata alam menarik yang tidak dijumpai jika berangkat dari kabupaen Banyuwangi. Mau coba??

 

 

Jenuh dengan kehidupan kota yang hiruk pikuk dan ingin melarikan diri barang sejenak? Cobala melirik Bondowoso dan sekitarnya. Kabupaten ini punya berbagai spot tempat wisata yang bisa untuk mendinginkan pikiran dan membuat sejuk mata. Ia tidak hanya punya kawasan wisata Ijen yang jadi tujuan wisata wisatawan dari berbagai macam negara maupun daerah di Indonesia, tapi juga tempat-tempat lain yang menarik untuk dikunjungi. Enaknya lagi untuk menuju tempat-tempat ini bisa dihampiri selagi menuju ke Ijen. Sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampui.IMG_0022

Resort di kaki gunung, air terjun berair jernih plus air panas, bukit berumput seperti   film anak-anak Teletabis atau wisata offroad,, Bondowoso punya segalanya. Untuk menuju tempat-tempat ini infrastruktur jalan mulus dengan pemandangan perkebunan kopi dan hutan pinus di kiri kanan jalan.IMG_0009

Perjalanan dari kota Bondowoso mengarah ke arah timur menuju kawasan Ijen. Di kilometer 45 km sajian visual mulai meyejukkan. Kanan kiri jalan penuh dengan perkebunan kopi Arabika dan hutan pinus. Seampainya di daerah Malabar, sempatkan sejenak mampir di kafe pinggir jalan yang dikelola kebun Jampit  milik PTPN XII. Disini bisa menikmati seduhan kopi Arabika yang nikmat sembari mengagumi deretan pegununan yang berederet-deret di  latar depan. Puas menyeduh kopi atau coklat perjalanan dilanjutkan ke Belawan yang jaraknya kurang lebih 3 km dari Malabar.ijen reuni (53)

Berada di lembah gunung, Belawan   sejatinya adalah pabrik pengolahan biji kopi Arabika milik PTP. Sungai berair jernih mangalir deras di sampingnya. Unikmya air tersebut sangat dingin dan hangat. Untuk yang hangat beraroma belerang disalurkan melalui pipa-pipa. Pihak kebun malah membuat kolam mini dengan dua pilihan rasa. Hangat dan dingin yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk berendam, di bawah kolam sedikit terdapat air terjum, yang merupkan spot favorit bagi pengunjung untk berselfi ria. Bidikan kamera pastinya akan membuat visual yang indah untuk melengkapi koleksi gambar perjalanan. Karena air terjun ini terlihat bertingkat-tingkat, yang oleh sebagian orang disebut dengan Niagara Fall mini, di tengahnya dibuat jembatan melengkung untuk memberikan sudut terbaik bagi pemotretan.ijen reuni (10)

Untuk keperluan akomodasi pilihan menarik adalah Jampit Guest  House yang berlokasi 10 km arah selatan Belawan. Untuk menuju tempat ini ada bonus lain yang bisa didapat yakni obyek wisata Kawah Wurung. Jalan menuju ke tempat ini serasa offroad. Jika naik kendaraan roda 4 pastinya tidak ngantuk. Bagaimana bisa tidur jika badan akan dibanting ke kanan dan ke kiri karena jalanan tanah bebatu , berpasir dan naik turun. Ini sangat cocok agi mereka yang menyukai offroad. Di Kawah Wurung, sesuai namanya sebuah kawah besar yang  mirip seperti habis dihujam oleh meteor. Gambarannya mirip sebuah lapangan bola besar yang dikelilingi dinding bukit. Yang paling menarik, pada musim kemarau,  lkawasan di daerah ini dikelilingi padang savana yang sepi tanpa hunian rumah penduduk. Ini mengingatkan kita ada serial film TV lama ‘Little House on the Prairie’’.  Latar belakang di bingkai  bukit-bukit gundul berwarna hijau seperti bukit teletabies turut mempercantik  lanskap ini.  Belum lagi dataran kosong yang dipenuh dengan bunga-bunga liar berwarnah ungu yang bermekaran di bulan September. Indah, elok, eksotis adalah kata ajektif yang tepat untuk menggambarkannya.IMG_0011

Guest Jampit sendiri sebagai  pilihan akomodasi adalah bangunan kuno yang dibangun di erah kolonial Belanda di tahun 1927 yang dikelilingi kebun bunga berwarna warni.  Bangunan vila dua lantai berkamar 4 bisa dipesan seharga Rp 2 juta per malam yang bisa memuat 30 orang. Cocok  untuk acara kumpul-kumpul atau reunian.  Di ruang tamu yang lebar dilengkapi perapian untuk menghantkan diri di malam hari yang suhunya bisa turun sekitar 10 derajat Celciusijen reuni (34)

Tempat ini menjadi titik tolak yang menarik untuk menuju kawasan Ijen yang hanya berjarak sekitar kurang lebih 20 km di arah timur. Menuju Ijen dari Bondiowoso merupakan pilihan terbaik karena sepanjang perjalanan, wisatawan akan menadapat bonus atraksi wisata alam menarik yang tidak dijumpai jika berangkat dari kabupaen Banyuwangi. Mau coba??

2012 in review. Thanks a lot for the readers/netters who fond of reading my blogs. Without your participation this blog won’t mean nothing. Your role play a pivotal role to me. Thanks anyway….and keep in touch my my blogs. Terima kasih banyak kepada para pembaca yang telah menyempatkan waktunya untuk membaca coretan tulisan yang aku sajikan di blog ini. Peran anda sangat berharga buatku dan karena anda-andalah blog ini menjadi sangat berarti. Selamat mengikuti terus update tulisan yang nanti aka saya posting buat anda. Selamat membaca!!!


The WordPress.com stats helper monkeys prepared a 2012 annual report for this blog.

Here’s an excerpt:

600 people reached the top of Mt. Everest in 2012. This blog got about 2,400 views in 2012. If every person who reached the top of Mt. Everest viewed this blog, it would have taken 4 years to get that many views.

Click here to see the complete report.

Derry, Kota Benteng Tersisa di Tanah Irlandia


 

satu sudut benteng tembok London Derry

 

Dubrovnik, satu kota kecil di negeri Kroasia, selama ini lebih banyak dikenal orang sebagai kota benteng paling eksotik di daratan Eropa. Lokasi kota tuanya yang dikelilingi benteng kuno memang mempesona. Apalagi ia betengger tepat  di bibir pantai Adriatik yang elok hingga menjadi magnet tersendiri dalam menarik banyak pengunjung seantero jagad

 

Namun Dubrovnik bukan satu-satunya kota benteng  di  Eropa. Saingannya adalah Londonderry, populer dengan sebutan kota Derry saja. Ia berada di Irlandia Utara. Sayangnya eksistensi Dery kurang terdengar, karena  kota  ini lebih banyak diekspos sebagai kota sarat konflik. Karena reputasi itulah, maka banyak orang kurang kenal bahwa kota ini dipilih Civic Trust di London sebagai satu dari 10 kota di Inggris raya yang paling menyenangkan sebagai tempat tinggal.

Sekarang, cerita kelam itu hanya menjadi catatan hitam sejarah dan kota tembok ini kembali dalam suasana kondusif. Adanya gejolak politik masa lalu itulah, maka di pintu gerbang kota sampai didirikan sebuah patung persahabatan yang menggambarkan dua orang hendak berjabat-tangan. Sebuah simbol yang bisa dimaknai agar kaum muda belajar dari masa lalu.

Kota benteng Derry,  satu-satunya kota tembok  di Irlandia ini, dicatat sejarah sebagai kota yang tak bisa ditaklukan kaum musuh yang mengepung selama 105 hari.  Kini setelah empat ratus tahun  didirikan, Londonderry masih tetap eksis dengan bentuknya yang asli dan mulai dibanjiri wisatawan.

 

salah satu pintu gerbang masuk kota benteng London Derry

Dari brosur wisata yang saya comot di pusat informasi wisata, setidaknya gambaran  dasar kota tembok dengan muatan sejarahnya dapat saya tangkap.  Bahwa tembok kota sepanjang 1,6 kilometer– dibangun tahun 1613 dan selesai tahun 1618–dikatakan  sebagai satu-satunya yang masih tersisa utuh di Irlandia. Tebal temboknya mencapai 6 meteran. Kota benteng ini juga diklaim sebagai salah satu contoh kota tembok terbaik di daratan Eropa. Bahwa beberapa sudut bagian kota lamanya yang berada dalam lingkaran benteng dipenuhi dengan museum, galeri, pusat kerajinan, pusat data kota, gereja dan bangunan kuno lainnya.

Secara geografis Derry terletak di ujung paling utara pulau Irlandia. Tahun 1921 dengan ditekennya pembagian Irlandia, secara tak terduga Derry dijadikan kota perbatasan yang memisahkan Irlandia Utara dengan Republik Irlandia. Ini kota terbesar nomor dua di Irlandia Utara setelah Belfast. Berdiri di atas bukit di bantaran muara sungai Folye yang memisahkan semenanjung Donegal, kota ini berhadapan dengan lautan Atlantik. Kata Derry berasal dari kata Irlandia kuno, Daire yang berarti hutan Oak dan  jadi  tempat keramat bagi bangsa Celtic.

Saya mengunjungi Derry setelah membaca sebuah informasi di koran terbitan Irlandia Utara, bahwa di kota itu diadakan perayaan memperingati pembebasan kota tembok setelah aksi pengepungan bersejarah lebih dari 350 tahun yang lalu. Dari ibukota Irlandia Utara, Belfast, Derry dengan mudah dicapai. Dengan sebuah tiket kereta api terusan seharga 5 poundsterling (Rp 85 ribu) yang berlaku selama sehari penuh,  dan bisa dipakai untuk semua jurusan di Irlandia Utara, saya   bertandang ke kota kuno ini. Hanya perlu dua jam saja dari Belfast. Jika mau agak lama, bus adalah pilihan lainnya. Yang membedakan, rute bus adalah jalur favorit para turis, karena melewati Antrim Coast, sentra wisata yang terkenal keindahan alamnya di Irlandia Utara.

Kota masih terselimuti kabut tipis di pagi hari, saat kaki meninggalkan  stasiun kereta api Derry yang berada di bibir sungai Folye. Di hari Minggu pagi kota tua ini  masih belum menampakkan denyut kehidupannya. Jalanan masih lengang. Tidak nampak adanya tanda-tanda bahwa akan diadakan acara peringatan di kota itu.

Saya melewati sebuah jembatan besar di atas sungai Foyle yang begitu lebar. Jembatan ini merupakan pintu akses utama menuju Derry. Beberapa puluh meter selepas jembatan, beberapa bagian tembok kota ini sudah terlihat. Tidak nampak penuh memang karena terhalang oleh banyaknya bangunan yang didirikan  di luar tembok benteng tersebut. Keberadaannya tidak semencolok tembok besar Cina, namun cukup kontras dengan bangunan  di sekitarnya. Kokoh, gagah kendati mungil. Aslinya benteng kota ini punya empat pintu gerbang utama di sisi timur, barat, utara dan selatan. Setelah mengalami restorasi, tiga pintu  gerbang baru ditambahkan.

Bersama beberapa turis lainnya, saya  masuk lewat gerbang Ferryquay di sisi selatan. Melihat bentuk bentengnya, lorongnya, jalanan batu di atas bentengnya, sesaat saya seperti melintasi perjalanan waktu dan terlempar ke abad pertengahan. Hanya suara deru mobil mulus merek-merek terkenal Eropa yang lalu lalang di dalam kota benteng menyadarkan bahwa saya berada dalam ruang lingkup era modern.

Benteng Saksi Sejarah
Bentuk tembok benteng kota Londonderry seperti trapesium. Di setiap sisinya  berderet meriam-meriam kuno yang kalau dihitung jumlahnya lebih kurang 40 buah.  Di sisi utara tembok, moncong deretan  meriam kuno diarahkan ke sebuah  perkampungan penduduk yang dibatasi padang rumput yang cukup luas. Bisa jadi dulunya daerah itu merupakan arah pergerakan para musuh, sebelum perkampungan itu terbentuk. Itu baru sebatas hipotesis saya yang mesti dikonfirmasi dulu kebenarannya.  Di dalam area tembok benteng sendiri dibangun gedung pusat layanan riset bagi mereka yang ingin mendapatkan data tentang kota tembok tersebut serta sejarah yang terkandung dalam kota Londonderry. Kabarnya lebih dari sejuta catatan termuat dalam pusat data yang bisa diakses umum.

Bersama pengunjung lain, saya ikut-ikutan memasuki sebuah terowongan besar yang dibangun di dalam benteng tembok tersebut. Para pelancong rupanya banyak yang memanfaatkan lubang ini untuk napak tilas sejarah dan merasakan aura semangat juang warga Derry di masa lalu. Terowongan itu tidak terlalu besar, bahkan untuk ukuran orang Eropa yang tinggi besar, mereka harus menunduk agar tidak terbentur atap dinding rendah yang ada di beberapa.

Kota benteng tua ini kalau mau jujur bukan untuk dinikmati keindahan, namun lebih pada sisi penghayatan. Bahwa sejarah pergolakan dan kekerasan seakan menjadi bagian inheren dari kota ini. Jika pada abad 17-an ada aksi pengepungan lebih dari tiga bulan dari pasukan Katholik yang mengharuskan penduduk kota berjuang habis-habisan mempertahankan diri, maka pada dasawarsa 70-an kota ini menjadi bagian dari perjuangan kaum IRA (tentara republik Irlandia) yang ingin memisahkan diri dari Inggris Raya. Untunglah perjanjian Good Friday yang disodorkan pemerintah Inggris di London berdampak langsung pada ketenangan dan kedamaian di kota benteng itu.

Berdiri diantara meriam-meriam kuno yang moncong hitamnya berada di atas benteng, saya seperti terbawa arus ke pusaran konflik yang menyertai perjalanan sejarah kota tua ini.  Meriam-meriam, yang berderet rapi itu  masih terawat baik. Bahkan beberapa diantaranya yang berada di lokasi strategis nampak mengkilat, mungkin karena sering dipegang bahkan diduduki pengunjung.

Menurut Phylis seorang warga Derry penjaga kathedral St Columb, bangunan bergaya Gothic, pada dasarnya orang Dery sangat terbuka dan menerima dunia.  Keterbukaan dalam hidup mereka membuat warga kota kecil ini tidak repot-repot memelihara dendam dan terseret peliknya persoalan yang bersifat politis.

Kini sulit memang mencari tanda-tanda bekas adanya konflik pernah berkecamuk di daerah tersebut. Selama mengitari kota tersebut tidak nampak sekalipun tentara atau polisi berada di jalanan seperti umumnya kita lihat di kota semacam Jakarta. Warga Derry pun begitu ramah menyapa setiap pengunjung dan dengan sigap memberi informasi jika diperlukan. Mereka sadar kota mereka punya potensi wisata yang terbukti berkontribusi menggerakkan industri mereka.

Acara Ritual Tahunan
Menjelang tengah hari, kota ini makin hidup. Ratusan manusia memasuki gerbang kota untuk melihat acara ritual tahunan. Acara peringatan yang merupakan tradisi tahunan itu sendiri terlihat meriah. Kegiatannya di pusatkan di halaman gedung Guildhall, sebuah gedung yang dijadikan pusat budaya dan layanan sipil. Gedung bergaya Neo-Gothic  ini berdiri tepat di sisi tembok sebelah timur. Nuansa kultural, sangat kental terasa dalam perayaan  itu. Mereka yang hadir mengenakan busana kalangan aristokrat tempo dulu. Topi berumbai, rambut berhias wig keriting warna hitam dan keperakan yang biasa dilihat dalam ruang sidang di Inggris Raya serta pedang dan bayonet adalah aksesori yang melekat.

Aksi parade pasukan tempo dulu membuka acara. Sementara alunan lagu-lagu perjuangan rakyat Irlandia mengiringinya. Berbagai atraksi menghibur pengunjung melengkapi sajian gratis ini. Di sudut lain bagian benteng tembok, sekelompok seniman jalanan dengan instrumen gitar, cello, biola dan seruling memainkan lagu-lagu rakyat Irlandia.

Kota Londonderry memang salah satu kota yang menyimpan banyak sejarah di Irlandia Utara. Kota ini juga menjadi saksi sejarah mobilitas penduduk Irlandia yang hendak meninggalkan pulau tersebut guna meraih kehidupan yang lebih baik. Dari kota inilah  pada abad 18 dan abad 19, ratusan ribu penduduk Irlandia hengkang  berimigrasi ke  Dunia Baru, daratan Amerika. Mereka  melakukan pelayaran trans-atlantik menuju Philadelphia, Carolina selatan, dan Charlestown di Amerika. Bahkan beberapa dari emigran tersebut   membentuk koloni Derry atau Londonderry di benua impian, Amerika. Sejarah juga menulis, emigrasi dari kota ini makin menghebat, saat Irlandia mengalami kelangkaan pangan akibat kekeringan pada pertengahan  abad 19. Mereka tidak hanya ke Amerika, tetapi juga merambah ke Kanada dan Australia.

Liverpool, Pesona The Beatless Sampai Kota Pelabuhan


Albert dock landmark Liverpool

Pesona Kota Liverpool di era modern identik dengan The Beatless. Urutan berikutnya sepakbola dan  para hooligannya. The Beatless sejak kemunculannya telah  membingkai reputasi  kota barat laut Inggris tersebut. Dunia bola beserta prestasi kliub, dan ulah para penggemarnya yang terkenal sangar dalam kompetisi lokal maupun internasional ikut mengangkat nama kota Mersysides terse but.

Sementara predikat kota pelabuhan yang mencatat banyak sejarah dalam pelayaran transatlantik dan daya tarik lainnya seperti bumbu pemanis saja. Kapal legendaries Titanic misalnya yang tenggelam di dasar lautan Atlantik tahun 1912 ketika memulai pelayaran perdasanya mendapat lisensinya di kota ini.

Adalah fakta, kalau banyak orang berkunjung ke kota tua ini untuk menapak tilas  kehidupan empat pemuda Liverpool tahun 1960-an; John Lennon, Paul McCartney, Ringo Starr dan George Harisson personil  kelompok musik legendaris, The Beatless. Kenyataan pula jika semua hal yang berbau dengan grup musik itu dijadikan sebuah daya tarik turisme yang menggerakkan industri tanpa asap di kota tersebut. Sampai-sampai nama vokalis utama Beatless, John Lennon diabadikan sebagai nama bandara satu-satunya yang ada di Liverpool.

Turun dari kereta api di stasiun James Street pada musim panas, saya merasakan  nuansa Beatless yang sangat kental. Melewati deretan pertokoan yang berada di jantung kota,  musik bernada rock’n roll Beatless terdengar mengalun. Umbul-umbul dan spanduk yang menginformasikan berbagai acara berkaitan dengan Beatless nampak memenuhi sudut jalanan. Saya yang bukan penggemar musik John Lennon dan kawan-kawan ini, jadi  bergumam dalam hati, betapa roh Beatless begitu kuat menyihir penggemarnya sampai kini.

Saya mengunjungi kota ini saat mM-usim panas di bulan Agustus. Ini momen yang pas  untuk sekedar merasakan aura The Beatless dimana di builan-bulan terse but adalah  saat pesta pora para Beatlessmania dari belahan bumi di kota yang berjarak 336 km dari London tersebut. Saat itu digelar pekan festival internasional Beatless. Ribuan manusia dari berbagai ras, dan umur serasa tumplek di Liverpool untuk ambil bagian dalam pesta rakyat itu.

Festival ini adalah ajang terbesar dan merupakan perayaan musik tahunan terbaik mengenang kejayaan the Beatless. Puluhan kelompok musik lebih dari 20 negara memeriahkan susana. Mereka memainkan lagu-lagu Beatless yang pernah populer. Festival tersebut selain dihadiri para selebritis kondang, juga diisi dengan acara pelelangan benda-benda memorabilia the Beatless, tur khusus, pemutaran film Beatless dan workshop.

Wisata kota menyinggahi tempat-tempat yang punya nilai historis dalam perjalanan karir musik The Beatless pun dikemas dan laku dijual ke pengunjung. Mendips dan 20 Forthlin Road, rumah milik John Lennon, dan Paul McCartney misalnya adalah highlight wisata ini. Menurut cerita dari rumah teras itulah para anggota Beatless berkumpul, berlatih dan menulis banyak lagu. Mendip adalah tempat tinggal Lennon bersama bibinya, Mimi dan pamannya George. Di kamar dan teras rumah inilah pria berkacamata itu menggubah lagu-lagu awal Beatless. Kini rumah yang dibeli janda Lennon, Yoko Ono diserahkan kepada suatu badan. Tempat-tempat lain seperti Penny Lane, Strawberry Fields  yang punya catatan khusus karena banyak menginspirasi penulisan lagu Beatless juga menarik perhatian pengunjung.

Sementara itu, di jantung kota, galeri seni wall of fame the Beatless di jalan Mathew yang memajang lebih dari 50 edisi terbatas cakram emas the Beatless dan benda-benda pribadi lainnya dipadati manusia. Untuk sejenak, saya pun larut dalam euphoria bersama para penggemar Beatless. Yang jelas pelaku industri pariwisata, baik itu bisnis perhotelan, jasa transport, biro perjalan wisata sampai kedai makan kebanjiran rejeki dari arus pendatang di kota Liverpool.

Kota Pelabuhan

Berbeda dengan kota-kota besar di Inggris Raya, melintasi jalanan kota Liverpool terasa sangat menyenangkan. Kotanya tidak terlalu luas. Taman-taman kota dengan aneka bunga berwarna-warni terawat rapi. Ruang publik ini di kelilingi gedung-gedung tua yang terjaga keasliannya. Jalan-jalan kotanya lebar dan tidak terlalu padat pengunjung. Lalu lintas kendaraan pun tidak seruwet Jakarta. Bagian-bagian menarik kota berkumpul dalam suatu lokasi yang tidak berjauhan. Di kota ini bermukim komunitas China dalam jumlah yang cukup besar. Menurut kabar, China Town atau pecinan di Liverpool adalah yang terbesar di dararan Inggris, sehingga cita rasa Asia cukup menonjol di kota kelahiran pesepakbola Wayne Rooney ini.

Daya tarik Kota Liverpool akan nampak memikat jika kita melewatkan waktu menyusuri sungai Mersey yang membingkai kota ini. Dengan merogok kocek 6,5 Poundsterling (sekitar Rp 104 ribu) saya membeli tiket feri pelayaran Liverpool Bay Cruise di suatu senja. Pelayaran berdurasi 50 menit terasa begitu cepat untuk  melihat suguhan visual panorama kota di saat senja. Saat gedung-gedung tua (sebagian gedung baru) yang berjejer di tepian sungai bermandi cahaya lampu, saat itulah kota Liverpool terlihat eksotik dengan refleksinya di perairan sungai. Kawasan Pier Head yang bercokol tiga gedung kuno utama dan kini dijadikan pusat warisan budaya dunia: gedung Liver, Cunard dan gedung pelabuhan Liverpool nampak begitu anggun dengan menara jam tuanya ketika disirami  sorotan lampu.

Daerah tepian sungai Mersey (Merseyside) adalah titik penting sejarah kota. Tempat inilah yang memainkan peranan penting dunia maritim Liverpool sehingga menguatkan predikatnya sebagai kota pelabuhan di Inggris. Pelayaran transatlantik dan lalu lintas laut yang menghubungkan daratan Inggris dengan pulau tetangganya Irlandia, berada di sini. Bisa dikata, maritim di tepian Mersey adalah poin utama untuk mengeksplorasi petumbuhan kota Liverpool dan daerah di sekitar pelabuhan yang memiliki warisan budaya di dunia pelayaran.

Di tempat ini pula terdapat Albert Dock, suatu komplek marina yang berhasil direnovasi tahun 1980-an dengan deratan bangunan memanjang berbentuk  segi empat yang mengitari danau. Di tengahnya terdapat pulau buatan berbentuk peta pulau Inggris dengan gambar-gambar benda yang menjadi ciri khas daerah di daratan Inggris. Misalnya daratan tengah Inggris yang disebut Midlands terdapat gambar keramik yang memang menjadi sentra kerajinan keramik di Inggris. Di komplek ini berdiri museum martim Marseyside, gerai galeri seni Tate, museum  The Beatless Story yang merangkap toko cendramata, pusat hiburan dan tempat relaksasi lainnya.

Kejayaan dunia maritim Liverpool terasakan saat kaki melangkah memasuki museum maritim Merseyside. Interior bangunan didisain sedemikian rupa. Beberapa bagian seperti untuk tujuan pendidikan dibuat interaktif agar tidak membosankan. Jika mau jujur menikmati isi  gedung ini bukan aspek keindahan yang ditonjolkan, namun lebih pada sisi penghayatan. Betapa tidak di salah satu ruangan, pengunjung disuguhi segala pernak pernik benda-benda yang pernah terdapat dalam kapal legendaris Titanic. Di situ tidak hanya ada replika kapal mewah dalam ukuran besar namun juga beberapa benda-benda lain seperti jaket pelampung para penumpang yang terselamatkan, topi crew kapal, seragam pelaut, peralatan makan di Titanic, juga informasi lain seputar kapal yang pernah diklaim sebagai istana terapung tersebut.

Banyak hal yang bisa dipelajari generasi masa kini di museum ini. Pengunjung seperti diajak menapak tilas sejarah Liverpool yang pernah menjadi embarkasi 9 juta emigran dalam kurun waktu seabad (1830-1930) saat menuju benua impian Amerika, Kanada, Australia dan Selandia Baru.  Begitu juga sejarah perdagangan budak yang melakukan transatlantik beserta sejarah kaum negro Afrika yang tidak bisa dilupakan begitu saja. Kapal-kapal dagang yang punya peran dalam perang dunia ke-2 di samudra Atlantik juga ikut dipajang. Dan tidak ketinggalan pula replika kapal mewah saudara Titanic di jaman Edward yakni Lusitania dan Britania yang sama-sama dibangun di galangan kapal Belfast, Irlandia Utara, ikut ditampilkan. Sejarah juga mencatat kapal-kapal tersebut juga mengalami nasib tragis seperti Titanic, tenggelam di perairan dalam.

Gedung museum maritim ini menurut catatan yang ada dulunya merupakan sebuah gudang tua yang menjadi bagian dari historis dari Albert Dock di pinggiran sungai Mersey. Dibuka tahun 1980 dan isinya seakan menceritakan kejayaan salah satu pelabuhan terbesar dunia berserta orang-orang yang menggunakan pelabuhan tersebut. Koleksinya merefleksikan peran Liverpool sebagai pintu gerbang dunia termasuk didalamnya perannya dalam perdagangan budak dan arus emigrasi besar-besaran. Perpustakaan dan arsip yang dipunyai berisi koleksi berharga catatan kapal-kapal dagang di Inggris raya.

Jika belanja adalah gairah utama anda mengunjungi sebuah kota, maka apa yang dicari di kota kosmopolitan Liverpool akan ditemui. Toko-toko cenderamata khusus di deretan arcade Albert Dock, Church Street, Bold Street sampai pasar Paddy adalah beberapa alternatif yang bisa dikunjungi. Di sini berlaku ungkapan shop till you drop.

Bagi anda pecinta dunia seni, Liverpool yang pasti mampu memanjakan hobi anda. Galeri seni Tate, terbesar di luar London memberi kesempatan anda mendapatkan barang cangkingan sebagai cenderamata saat mengunjungi Liverpool. Galeri ini merupakan tempat koleksi nasional dari seni modern di utara Inggris. Benda-benda seni kontemporer dari tahun 1900 sampai kini yang mencakup fotografi, video, seni instalasi, lukisan dan patung adalah beberapa koleksi yang terpajang di sini. Cetakan dan repro lukisan pelukis ternama semacam Vincent Van Gogh, Salvador Dalli, Monet, Russeu, Rembrant, Picasso bisa didapat dengan harga terjangkau. Saya pun tak dapat menahan diri untuk membawa repro cetakan beberapa pelukis ternama itu yang per bijinya diberi bandrol harga 3,5 poundsterling. Yang jelas lukisan repro itu setelah diberi bingkai mampu memperindah interior rumah.

Covent Garden, Hiburan Murah ala London


London, Inggris. Betapa luasnya kota megapolitan ini. Rasanya satu dua hari saja tidaklah cukup menikmati sisi-sisi kota. Ibukota Inggris Raya ini tidak hanya punya gedung parlemen Westminster dengan menara jam Big Ben,  London Eye, istana Buckhingham atau Tower Bridge yang semuanya jadi ikon kota tua itu. Banyak hal ditawarkan. Nafas kehidupannya telah menarik banyak pengunjung seantero jagad.

Adalah fakta  kalau London dicatat sebagai salah satu kota termahal di dunia. Biaya hidup yang tinggi tercatat satu level di bawah Tokyo. Namun bukan berarti kota ini hanya akrab bagi kaum berduit. Mereka yang pas-pasan secara finansial pun bisa menikmati fasilitas hiburan di kota yang sangat materialistik ini. Boleh dikata gaya hidup hedonisme  London berlaku untuk semua kalangan dari berbagai strata sosial dan status ekonomi.

Sekedar ilustrasi, bagaimana seorang pecinta seni bisa menikmati ribuan mahakarya seniman lukis papan atas dunia di National Gallery, disamping Traffalgar Square secara gratis.  Di situ tergantung karya-karya milik Rembrant, Salvador Dalli, Monet, Lenoardo Da Vinci, Vincent Van Gogh dan sederet nama beken lainnya di abad 17 yang siap dipelototi. Tak perlu keluar duit sepeser pun menikmati isi perut geleri nasional London. Sebagai pembanding, untuk menikmati karya-karya Van Gogh di Amsterdam misalnya pengunjung dikutip biaya masuk.

Di musim panas, London bak lautan manusia. Turis dari berbagai penjuru bumi tumplek di kota ini.   Di jalanan bahasa dan dialek asing tertangkap indra pendengar. Bus kota dan kereta api bawah tanah yang dikenal dengan sebutan the Tube, selalu sarat. Jangan ditanya pengapnya  udara dalam the tube saat summer. Gerbong kereta tanpa pendingin itu laksana oven besar yang melaju di terowongan gelap yang serasa tak berujung. Belum lagi  aroma keringat penumpang ras kulit hitam yang menyengat, hingga  membuat hidup serasa tidak nyaman untuk sesaat.

Denyut kehidupan London saat kota ini disirami sinar matahari dalam satu paket yang utuh memang bergairah. Biasanya matahari hanya memberikan sinarnya saja, tetapi minus panasnya. Jadi kendati terang tapi tetap saja cuaca dingin. Musim panas pula membuat hari-hari di London terasa panjang karena matahari tenggelam pada pukul 11 malam.  Panggung theater masih memainkan lakon klasik Les Mirables atau Miss Saigon. Konser musik party in the park ramai digelar di Hyde Park, menampilkan kelompok musik ternama Blue, The Corrs, Bellefire dan sebagainya.

Hiburan Rakyat

Bersama rombongan tenaga kerja Indonesia ilegal yang hidup di London, saya menikmati atraksi hiburan murah meriah di london. Saat itu,  saya sedang melakukan riset kehidupan para pekerja migran asal negara kita yang tergolong pekerja gelap di London untuk tugas akhir studi di kampus. Mereka paham betul London dengan hiburan yang membumi. ”Enaknya banyak yang dinikmati gratis di London. Kalau bayar, mana mampu kita,”ujar seorang TKI gelap asal Madura yang memandu saya.

Dari stasiun bawah tanah Walthamstow tempat mereka banyak tinggal, kami naik Victoria line menuju Charing Cross. Melewati lorong-lorong stasiun underground yang diramaikan pengamen jalanan  suasana begitu menghibur dengan alunan lagu melankolis. Sampai di permukaan tanah terpampang suguhan visual  Traffalgar Square yang terkenal itu. Daerah yang biasa digunakan titik penting para demonstran ini, kesannya biasa saja bahkan jauh dari menarik. Selain  bising lantainya pun nampak jorok oleh kotoran burung merpati.

Dari tempat ini, kami berjalan kaki menuju Leicester square. Ini jantung kota London. Semua simbol kehidupan modern ada disini. Teater dan gedung bioskop megah tempat diputarnya premier film di London, letaknya tidak berjauhan. Menembus daerah pecinan tujuan utama kami adalah  Covent Garden tempat para seniman jalanan memamerkan kebolehannya.

Covent Garden tempatnya tidak terlalu luas. Jalanan menuju kawasan itu ditutup untuk kendaraan bermotor, sehingga para pejalan kaki bebas menikmati sajian menarik disisi kiri dan kanan jalan.  Mungkin kawasan ini seperti Harajuku di Tokyo yang pada hari-hari tertentu dijadikan ruang publik.

Siang itu di trotoar sudah banyak orang duduk-duduk menanti pertunjukkan gratis. Kami memilih duduk di sebuah kafe yang menghadap jalan besar dan memesan secangkir teh Inggris yang dicampur susu. ”Wah si Charlie Chaplin main lagi tuh. Dua hari lalu lalu,  ia sudah tampil,”celetuk rekan TKI yang menjadi responden penelitianku, menunjuk bule berpawakan kecil berpenampilan persis kayak komedian legendaris Charlie Chaplin lengkap dengan topi hitam, dasi kupu-kupu, tongkat dan kumisnya yang segaris vertikal.

Pengunjung tertawa dibuatnya oleh  gerakan-gerakan pantomin si Charlie yang memang kocak. Tepuk tangan terdengar ramai setiap kali si Chaplin  berhasil melakukan gerakan-gerakan akrobatik yang agak sulit. Selama pertunjukkan beberapa pengunjung menaruh koin di topi yang sengaja ditaruh  Chaplin.

Jalanan Covent Garden makin meriah diisi berbagai hiburan segar dengan hadirnya beberapa pemain baru. Mulai dari atraksi badut yang digemari banyak anak kecil, sajian musik tradisional suku Aborigin Australia dengan hiasan coreng moreng di tubuhnya, aksi para pemain akrobat,  sampai pertunjukkan kelompok musik jalanan. Boleh dibilang instrumen musik yang mereka bawa tidak ala kadarnya. Lagu-lagu bernada riang yang mereka bawakan dengan kualitas suara dan seni bermain musik yang bagus menambah suasana ceria Covent Garden. Hadirnya pemain baru ini membuat penonton terbagi dalam beberapa kelompok yang membentuk formasi lingkaran karena ingin mendapatkan hiburan dari jarak dekat sembari menaruh koin.

BBC London, siaran Indonesia pernah memberitakan, pemerintah kota London mengeluarkan ijin yang cukup ketat untuk mengontrol pertunjukan budaya jalanan ini. Juga pada pangamen yang bisa mangkal di koridor statiun bawah tanah. Para seniman harus mempunyai ijin sebelum mereka diperbolehkan manggung. Ada proses seleksi ketat dengan penetapan standar mutu. Alhasil suguhan  seni yang mereka pamerkan sudah lebih diatas rata-rata. Artinya pula mereka tidak boleh asal-asalan  memamerkan kebolehannya.

Sebelum kami beranjak pergi, karena suasana makin ramai dan tidak lagi bisa santai, salah seorang rekan berbisik, ”Lihat cewek di belakang kita. Itu khan aktris yang main di serial Sex and the City.” Saya pun menoleh dan melihat wajah manis artis Sarah Jessica Parker  berbaur di kerumunan massa melihat hiburan rakyat. Dibalut setelan jeans dan T-Shirt sang bintang  memang jauh dari kesan glamor Hollywood. Sang teman dengan guyon mengatakan, ”Itulah sisi enaknya London,  banyak tempat yang nyaman buat santai sembari dapat hiburan gratis. Kalau di Jakarta sulit.”

Kebesaran Romawi Tempo Dulu

Pukul 4 sore kami semua bergegas masuk stasiun bawah tanah, karena tidak mau ketinggalan pertunjukkan budaya lain di gedung British musium. Saat kami tiba, ternyata suasana sudah ramai. Banyak wisatawan asing dan lokal sudah nongkrong di halaman dan anak tangga gedung megah British musium. Umbul-umbul dan spanduk besar menginformasikan soal festival dan acara rutin hari itu.

Acara dimulai dengan tampilnya seorang ketua. Sementara para laskar  lengkap dengan persenjataan Romawi tempo dulu, tombak, tameng dan helm besi  berbaris rapi mendengar isi pidato  ketua yang duduk di singgasana. Dengan sekali aba-aba, laskar dan pasukan berkuda melakukan prosesi iring-iringan lengkap dengan segala panji-panji kebesaran bangsa Romawi. Mereka berjalan rapi mengelilingi halaman musium. Saat terompet ditiup dan gendang ditabuh, tampilah beberapa pasukan berkuda. Mereka berlari berkeliling arena dengan kecepatan sedang. Saya jadi terbawa suasana, seolah-olah melakukan perjalanan lintas waktu ke masa silam dan terdampar di tengah abad pertengahan.

Suasana semakin riuh dengan tepukan penonton saat pasukan berkuda menunjukkan atraksi ketangkasannya. Empat orang penunggang kuda berlomba menyarangkan tombaknya yang berkuruan sekitar 2,5 meter ke arah lubang kecil di papan kayu yang diletakkan di tengah halaman.  Atraksi itu yang jelas bukan perkara gampang, karena selain harus mengontrol lari kuda, si penunggang butuh konsentrasi penuh untuk memasukkan tombak dengan persis ke tengah papan.

Bukan perkara yang mudah pula bagi para pendekar berkuda tersebut untuk beraksi dengan kostum besi dan topeng baja serta sebuah tombak yang cukup panjang dan berat.  Jika tidak bisa menjaga keseimbangan bisa-bisa si penunggang kehilangan kontrol. Itu pula yang terjadi. Di tengah keriuhan penonton yang makin bersemangat, seorang joki terpeleset saat melemparkan tombaknya sementara sang kuda mempercepat laju larinya. Penonton terutama anak kecil yang dekat lokasi sampai menjerit dibuatnya. Acara selanjutnya memperagakan para prajurit melakukan adegan perang. Di sini kami disuguhi adegan bagaimana adu ketangkasan para prajurit memainkan tombak dan tamengnya untuk menangkis setiap gerakan musuh.

Hampir tiga jam penonton disuguhi hiburan segar gratis. Pada adegan penutup para laskar melakukan penghormatan kepada penonton dan  disambut tepukan meriah. Ketika hari menjemput senja, saat keriuhan itu menjadi keheningan, saya kembali ke rumah kos. Dalam perjalanan pulang, kurasakan fantasi kanak-kanakku muncul, menjadi seorang ksatria di tengah-tengah suasana masa  pertengahan.

Manchester, Dunia Hiburan, Seni dan Peninggalan Sejarah


Di mata publik Indonesia, kota Manchester, Inggris  serasa tidak terlepas dari dunia sepakbola. Klub Manchester United atau Manchester City, dua klub utama yang berlaga di liga premier turut mempromosikan kota tersebut ke panggung dunia. Bola dan Manchester seperti sebuah entitas yang tak terpisahkan. Dua-duanya saling mendukung menuju tangga ketenaran.

Sejatinya, kota nomor dua terbesar di daratan Inggris itu tidak hanya punya sepakbola.  Dalam dimensi lain, kota ini cocok sebagai  destinasi liburan. Semua infrastruktur yang diperlukan untuk kepentingan dunia wisata sudah terwujud di Manchester. Anda suka musik? Manchester adalah pilihan tepat. Mencari kesenangan belanja, bar, club, musium, galeri atau gedung-gedung sarat nilai sejarah? Manchester punya segalanya.

Kota berpenduduk 2,6 juta jiwa ini memang ideal. Kotanya tidak terlalu besar, dan semua tempat-tempat menarik untuk dikunjungi sangat aksesibel. Pusat pertokoan mewah dan sedang, bangunan-bangunan cantik, berwisata kuliner, pusat hiburan pop berkumpul dalam satu area yang mudah dijangkau. Kalau pun ada sedikit kekurangan, khususnya bagi kita orang tropis, paling  soal cuaca. Rasanya sedikit sekali menikmati guyuran sinar matahari. Warna kota lebih sering abu-abu. Ini tipikal daratan Inggris yang disebut-sebut sebagai empat musim dalam satu hari. Terang, mendung, hujan, turun salju,  kembali ke terang lagi  berlangsung dalam hitungan menit dalam sehari.

Jantung kota Manchester

Bagi saya pribadi yang setahun pernah tinggal di  perbatasan wilayah Manchester, kota ini pas untuk memuaskan hobi menikmati musik. Selain London, kota ini pusat hiburan di Inggris raya. Ia punya sejarah panjang dalam hal budaya musik.  Disebutkan Manchester punya 44 ribu tempat duduk untuk kegiatan teater dan budaya. Nightclub 164, gedung bioskop 159 dan jumlah penyanyi pop lokal yang mampu menjual album lebih dari dua juta kopi sebanyak 23 penyanyi. Catatan statistik ini  cukup menegaskan eksistensi Manchester sebagai salah satu pusat budaya musik.

Sekarang ini, Manchester masih meneruskan tradisi kuatnya dalam bidang ini dengan banyaknya  tempat-tempat pertujunjukkan musik secara live. Cobalah berkunjung di bulan Juli dan Agustus. Ketika cuaca jadi hangat, kota ini seakan menampilkan rohnya dalam dunia hiburan. Berbagai macam pertunjukkan musik berlangsung di kota ini. Mulai dari festival musik jazz yang ditampilkan baik di dalam maupun luar gedung, pertunjukkan karya-karya sastrawan Shakespeare, sampai karnaval musik dan tari asal Karibia dan Asia tersedia. Tempat-tempat digelarnya hiburan musik  The Bridgewater Hall, Manchester Evening Arena, Castlefield Outdoor Event Arena, Royal Northern College of Music dan Chetam’s School of Music berlomba-lomba menggelar event. Tinggal pilih sesuai  selera dan isi kocek tentunya. Masing-masing tempat ini menawarkan pementasan jenis musik yang berbeda. Seingat saya sebagian besar penyanyi papan atas dunia pernah menampilkan kemampuannya di Manchester

Kalau pun ingin yang murah meriah, Manchester juga menampilkan  budaya musik massal dengan pertunjukkan bertajuk Dancing in the Street yang bertempat di Cathedral Castle. Ini merupakan pertunjukkan tari dan musik pada saat akhir pekan. Atau nikmati pula acara Party in the Park yang digelar di beberapa taman kota seperti Philip park, Openshaw park dan Delamere park. Ajang-ajang seperti ini merupakan aksi unjuk diri para musisi debutan untuk mendapatkan nama. Taman kota berubah menjadi lautan manusia. Alunan musik membahana memenuhi ruang publik ini.

Pertama kali saat berkunjung dan melintasi jalanan di sudut-sudut kota, persepsi saya adalah  Manchester kota untuk bersenang-senang. Betapa tidak  cafe, bar, restoran dan pub nampak dominan menghiasi sudut-sudut kota. Saat malam menjelang, Manchester bermandi cahaya lampu. Tempat-tempat rileks ini kelihatan hidup dengan ramainya pengunjung, sementara pertunjukan musik hidup sampai terdengar dari jalanan. Dunia pub dan kehidupan malamnya adalah bagian tak terpisahkan dari Manchester. ”Sepertinya, ini kota untuk bermabuk-mabukan,”ujar seorang rekan mengomentari banyaknya pengunjung pub dengan gelas-gelas minumannya.

Mereka yang hobi belanja, Manchester juga merupakan sorganya. Tersedia banyak pilihan kelas dan harga. Dari stasiun kereta api Piccadilly, cukup berjalan kaki sepanjang Market Street akan ditemui pusat perbelanjaan Arndale. Secara umum harga-harga kebutuhan fashion di Inggris raya memang lebih mahal dari negeri kita, namun bukan berarti semuanya mesti lebih mahal. Jika belanja tepat waktu di musim diskon berarti  dapat harga bantingan. Biasanya setiap pergantian musim, misalnya saat musim panas setiap toko menggelar acara sale yang menari minat belanja.

Pertokoan ritel Primark salah satu ritel terbesar di Inggris  misalnya, harga-harga barang fashion semuanya mendapat potongan. Baju-baju hangat dengan kualitas bagus bisa didapat dengan harga miring. Begitu juga pakaian siap pakai lainnya, yang bila dibandingkan dengan harga di tanah air dengan kualitas sama masih jauh lebih murah.

Manchester masa lalu

Mengelilingi kota Manchester, kita seperti melihat sebuah wajah yang merepresentasikan masa lalu, kini dan yang akan datang. Bangunan-bangunan tua bersejarah di pusat kota nampak bersebelahan dengan bangunan baru dengan sentuhan arsitektur modern. Di beberapa bagian sudut kota proyek-proyek bangunan baru dalam proses pembangunan. Bangunan tua yang terawat kebersihannya ini tidak kalah pesonanya dengan bangunan-bangunan baru yang ada di sebelahnya.

Manchester Town Hall bisa dikatakan sebagai monumen terbesar yang ada di kota ini. Bangunan bergaya Victoria ini dengan ornamen batuan ghotic ini dilengkapi menara jam yang punya ketinggian 85 meter dari permukaan tanah. Jarum penunjuk menitnya panjangnya sampai 3 meter. Di ujung menara terdapat sebuah bola emas yang merupakan simbol matahari yang menyinari kota Manchester.

Sekarang gedung dari abad 19 ini menjadi fokus dari sebagian besar kegiatan penting warga, pusat administrasi dan kegiatan politik di Manchester. Setiap hari Sabtu sepanjang tahun, kegiatan tur wisata berlangsung di gedung ini. Para pengunjung bebas menikmati bagian dalam gedung. Cukup mendaftar, menulis nama dan tandatangan di pusat informasi wisata yang terletak di sayap gedung, si petugas akan memberikan kartu pengunjung. Kendati begitu ada beberapa bagian gedung yang tertutup untuk para turis demi alasan keamanan.

Nuansa masa lalu terasakan saat kita menyisiri kanal-kanal yang melintasi pusat kota. Menurut cerita dulunya kanal-kanal ini merupakan jalur perdagangan kapas yang  banyak dihasilkan di Manchester dan daerah sekitarnya. Kini beberapa jalur kanal ini lebih banyak digunakan sebagai jalur wisata dengan beropeasinya perahu-perahu kecil yang disewakan untuk turis dan warga Manchester.

Suatu pagi di musim semi, kawasan Castlefield yang merupakan ujung dari kanal itu nampak ramai. Ratusan perahu ditambatkan di dermaga kanal. Ada yang memanaskan mesin motor perahu, ada pula yang melakukan perbaikan mesin. Dari tempat inilah para pengunjung kebanyakan memulai turnya untuk melihat sisi-sisi kota Manchester. Kegiatan plesir dengan perahu ini dimulai saat musim semi sampai musim panas. Musim dingin diliburkan karena permukaan kanal yang membeku tidak memungkinkan perahu bisa jalan.

Museum Sejarah

Castlefield, satu area yang merupakan titik sejarah masa lalu Machester. Di daerah sekitar itu terdapat beberapa situs-situs sejarah peninggalan jaman Romawi kuno. Banyak hal yang bisa dinikmati dari daerah ini untuk melacak kehidupan masa silam kota ini. Salah satunya adalah museum industri dan pengetahuan yang cukup besar di Manchester. Ini tempat yang bagus untuk mengetahui sejarah revolusi industri yang telah memberikan dampak bagus dan buruk terhadap perjalanan negeri Inggris.

Berlokasi di jalan Liverpool, museum ini dibuka untuk umum sepanjang tahun dan pengunjung tidak dipungut bayaran untuk masuk. Koleksi yang dipamerkan banyak dan bervariasi mulai model bangunan stasiun kereta api tertua, model mesin uap kuno temuan James Watt yang menandai  era revolusi industri,  pesawat ruang angkasa, sejarah fotografi, listrik, mesin air sampai mesin pemintal kapas dan mesin tekstil. Museum ini dikabarkan sebagai salah satu yang terbesar yang ada di dunia.

Bedanya dengan model museum yang ada di Indonesia, museum di Manchester ini dirancang sedemikian rupa sehingga sangat menarik, interaktif dan menghibur sehingga tidak membosankan untuk dikunjungi. Benda-benda kuno yang ditampilkan masih berfungsi dengan bagus. Lokomotif kereta kuno, mesin uap dan mesin pemintal kapas tua masih bisa dioperasikan sehingga para pengunjung bisa melihat secara langsung bagaimana mesin-mesin itu berfungsi. Untuk media pendidikan bagi anak-anak tentang teknologi, beberapa model barang pajangan didisain secara interaktif. Model pesawat ruang angkasa yang dipamerkan misalnya tidak hanya tampil sebagai benda mati, tapi dilengkapi dengan narasi, suara musik dan display tiga dimensi tentang bentuk visualisasi benda-benda angka luar.

Di bagian bawah museum khusus ditampilkan alat transportasi buatan Manchester tempo dulu, seperti mobil model T Ford, Crosley dan Belsize. Di sebelahnya dipajang bentuk sepeda motor dan sepeda gayung produksi pertama di dunia serta model mesin uap yang diekspor pertama kalinya oleh negeri Inggris. Sementara itu di bagian dalam dipamerkan berbagai macam model pesawat terbang. Ada model pesawat pembom Shackleton dan Spitfire berdampingan dengan pesawat Kamikaze Jepang. Bagian ini lebih banyak bercerita soal sejarah perkembangan dunia aviasi Inggris. Museum ini juga memberikan program tur plus demonstrasi untuk menambah daya pikal turisme massa kota Manchester.

Dublin, Pekatnya Bir Hitam dan Alunan Musik Tradisional


Di depan unibersitas Trinity Dublin

Mengunjungi Dublin, Republik Irlandia bagi saya adalah hal  tak terduga. Kesempatan itu muncul manakala saya memanfaatkan program Host, sebuah program  khusus bagi mahasiswa asing untuk tinggal pada sebuah keluarga di Irlandia Utara pada akhir pekan. Program ini gratis dan enaknya mahasiswa diajak  berdarmawisata oleh keluarga yang menerima.

Kebetulan keluarga Danny Ennis yang menerima saya, tinggal di sebuah kawasan wisata yang berdekatan dengan wilayah teritorial Irlandia Selatan. Tepatnya di kota Newcastle, tenggara Belfast. Awalnya saya kuatir juga ketika diajak ke Dublin karena saya tidak punya visa. Namun keluarga Ennis, meyakinkan untuk tenang karena tidak akan ada pemeriksaan imigrasi bagi warga Irlandia Utara yang melintasi perbatasan dua negara.

Lebih setengah jam berkendaran, kami sudah masuk wilayah Republik Irlandia persisnya melintasi  kota Dundalk, kota asal kelompok musik The Corrs. Tidak menyangka kota sekecil ini namun elok, melahirkan kelompok musik ternama. ”Tidak usah kaget, musik bagi orang Irlandia seperti bagian yang tak terpisahkan dalam hidup,”ujar Danny.

Rasa kuatir tertangkap petugas imigrasi terlupakan manakala pemandangan alam pedesaan menuju Dublin begitu menarik perhatian mata. Rumah-rumah bercat putih dengan taman bunganya yang berwarna-warni menghiasi panorama negeri asal sastrawan George Bernard Shaw dan Oscar Wilde ini. Satu setengah jam kemudian barulah memasuki gerbang kota Dublin.

Laju mobil sedan yang kami tumpangi tersendat saat melintas O’Connell street, jalan protokol utama Dublin. Di jalan yang panjangnya sekitar satu setengah kilometer ini denyut kehidupan Dublin sangat terasa. Ramai, hiruk pikuk. Bangunan kuno, seperti museum, bangunan kantor pemerintahan dengan bendera Irlandia hijau putih merah secara vertikal, pusat hiburan, restoran besar, mall nampak berderet. Sementara  toko cenderamata khas Irlandia nampak mencolok mata dengan display etalasenya lengkap dengan suara musik tradisional. Semua papan nama tempat, jalan serta informasi lainnya ditulis dalam dua bahasa; Inggris dan Gaelic bahasa ibu Irlandia.

Ibukota Republik Irlandia ini–layaknya kota-kota besar di Eropa barat — adalah sangat sibuk dan mahal. Harga-harga barang rasanya setara dengan London yang kalau di kurs rupiah membuat dahi berkerut. ”Dulu biaya hidup di Dublin masih murah. Namun sejak negeri ini bergabung dengan Uni Eropa dan memberlakukan mata uang tunggal Euro, harga-harga serasa berlompatan,”Danny menjelaskan.

Nafas wisata Dublin  terasakan dengan hadirnya turis  berbagai bangsa dengan bahasa dan dialek yang terdengar asing di telinga.  Bus-bus wisata dengan model open top sarat  turis nampak berlalu lalang mengeksplorasi keindahan setiap sudut kota.

Danny yang memandu saya menyebutkan, Dublin mengalami transformasi yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir.  Wajah Dublin yang merupakan ibukota zaman medieval menjadi kota kosmopolitan. Perekonomian Irlandia selatan maju pesat karena pemerintah memberikan insentif yang menarik bagi kehadiran penguasaha yang bergerak di sektor teknologi informasi.

Sebuah sudut kota Dublin

Warga Irlandia yang banyak beremigrasi ke berbagai negara banyak yang kembali seiring dengan pertumbuhan ekonomi Irlandia yang pesat. Seorang rekan di BBC Irlandia Utara menuturkan, sekitar dua dekade lalu serasa sulit mendapat kerja di Dublin. ”Saya sampai merantau ke Praha, Republik Ceko untuk menjadi guru bahasa Inggris. Namun tahun 1990-an saya kembali ke Dublin karena banyak lapangan pekerjaan tersedia.”

Potret kehidupan modern dan tradisional kini membingkai wajah  Dublin. Hotel berbintang, cafe dan restoran modern berdampingan dengan kedai-kedai minum tradisional dan guest house yang menawarkan keramahan.  Jika boleh berasumsi, sebenarnya kedai-kedai minum tradisional inilah yang memikat dan menggerakan hati wisatawan mengunjungi Dublin. Bukan simbol-simbol kehidupan modern yang notabene bisa dijumpai di banyak negara.

Kalau mau merasakan nikmatnya bir hitam Guiness, mungkin disinilah tempatnya. Selain karena bir itu buatan asli Irlandia selatan juga atmosfir bar membangun aura pengunjung untuk menikmati minuman khas tersebut. Bar dan pub tradisional nampak selalu ramai di Dublin. Suasananya hidup dengan sajian musik Irlandia yang kental. Dibandingkan dengan kota-kota di Eropa daratan, daya tarik arsitektur di Dublin memang tidak terlalu istemewa, namun kehidupan malam di bar-bar itulah yang membuat Dublin tampak menarik dan kelihatan berbeda. Bar-bar tradisional yang banyak berserakan di setiap sudut jalan ini umumnya buka sampai pukul 03.00 dinihari.

Kami merasakan suasana khas Irlandia saat masuk ke satu bar yang cukup populer, Temple Bar yang ada di pusat kota. Bar ini menyajikan, sajian musik hidup yang diambil dari lagu-lagunya kelompok musik Dubliners, kelompok asal Irlandia yang khusus membawakan lagu-lagu rakyat Irlandia selatan. Kelompok pemusik tradisional yang beranggotan  lima orang itu memainkan instrumen musik bodum (perkusi khas Irlandia), mandolin, seruling dan  biola ini di panggung yang disediakan

Di bar ini selain sajian musik yang  dipertontonkan juga diiringi dengan  Irish step dancer, jenis tarian musik yang menonjolkan hentakan  kaki pada lantai yang berirama. Para pengunjung baik itu penduduk lokal maupun turis berbaur dan nampak asyik dengan gelas-gelas birnya, larut dalam suasana yang riang. Alunan musik berbaur dengan suara gaduh pengunjung dan dentingan gelas.

Book of Kelt

Seperti umumnya kota-kota di Eropa, sungai menjadi tonggak pembangunan sebuah kota. Jika London, ada Thames, Praha dilalui Vltava, Budapest ditembus Danube, Paris mempunyai Seine, Roma dialiri  Tiber, maka Dublin dibelah sungai Liffey. Sungai itu memang tidak besar dan airnya tidak sejernih Vltava namun dari pinggiran sungai inilah kehidupan Dublin dulunya bermula.

Liffey yang terletak di ujung jalan protokol O’Connell dari dulu sampai jaman sekarang menjadi pusat aktivitas Dublin. Walaupun pemandangan di sepanjang aliran sungai ini jauh dari kesan elok dan menarik, namun ini menjadi tempat yang bagus untuk memulai mengetahui sisi-sisi kota.

Liffey membelah Dublin jadi dua bagian. Di bagian selatan sungai, banyak bermunculan infrastruktur pariwisata dan bangunan baru, hasil pertumbuhan ekonomi Dublin yang begitu cepat. Hotel, kafe-kafe trendi dan pusat perbelanjaan. Di bagian utara relatif tidak banyak tersentuh atau terpengaruh oleh ekonomi informasi. Cita rasa kota tua masih terlihat kental karena masih dengan mudah ditemukan bangunan yang menggunakan arsitektur abad 18 dan tempat-tempat historis lainnya. Banyak rumah-rumah di daerah ini yang merupakan contoh arsitektur Georgia seperti yang ditemui di sekitar Merrion Square dan jalan Fitzwillian. Salah satu contoh bangunan yang merepresentasikan keindahan masa lalu adalah bangunan kastil Dublin dan kastil Malahide yang berada di utara dari pusat kota.

Yang nampak kemudian adalah arsitektur bangunan-bangunan di Dublin  sebagai perpaduan jaman medieval dengan arsitektur kontemporer. Atmosfirnya pun memang lain dengan Belfast yang di utara pulau Irlandia. Dublin lebih terlihat multikultural dan masih menyenangkan bagi kita yang suka plesir karena penduduknya yang ramah. Saya merasakan kehangatan itu, ketika melintasi pub-pub yang umumnya berada di pojok jalan. Ketika saya mencoba untuk mengambil gambar pub tersebut dari luar, karena arsitektur Georgianya yang unik  dengan pintu bercat warna-warni mencolok mata, beberapa pengunjung di dalam dengan hangat menyapa. Diantaranya mereka meminta saya untuk masuk dengan mengacungkan gelas-gelas bir hitam Guiness, bir kebanggaan rakyat Irlandia.

Romantika masa lalu Dublin terasakan saat mengunjungi universitas Trinity yang boleh dikatakan sebagai salah satu tonggak sejarah kota Dublin. Bangunan tua yang selalu dikunjungi turis ini didirikan ratu Elizabeth I pada tahun 1592. Sampai kini bangunannya terawat bersih putih dan auditoriumnya sering digunakan sebagai tempat resepsi perkawinan. Wisatawan tertarik masuk ke areal universitas yang cukup besar ini karena ingin melihat Book of Kells,  naskah tertua yang diciptakan biarawan sekitar tahun 800. Ini adalah buku tertua di dunia dan merupakan yang terindah yang sampai sekarang tersimpan dengan rapi  di gedung perpustakaan lama.

Setelah mengunjungi beberapa obyek wisata di Dublin saya sampai pada kesimpulan, baik Irlandia utara maupun selatan sama-sama menariknya. Pesona wisata, kehangatan penduduknya, warisan budayanya sama-sama layak untuk direkomendasikan untuk dikunjungi. Yang membedakan, Irlandia Utara relatif utara  sepi dan biaya hidup yang lebih terjangkau. Sayangnya wisatawan masih dihinggapi rasa kuatir dengan konotasi negatif  Belfast.

Stratford upon Avon, Kota Dramawan Shakespeare


Stratford upon Avon. Kota ini identik dengan William Shakespeare. Stratford dan Shakespeare, merupakan entitas tunggal dalam industri pariwisata Inggris. Di tempat inilah, Shakespeare lahir pada abad 16 lalu, tepatnya tanggal 23 April 1564. Di kota ini pula ia menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal yang sama tahun 1616.

Hampir 400 tahun setelah kematian, dramawan besar yang dinobatkan sebagai Man of Millenium hasil polling nasional Inggris yang diselenggarakan BBC, terus dikenang. Karya-karya dramanya masih dimainkan di panggung teater dan kisahnya hidupnya diangkat ke layar lebar.

Stratford-upon-Avon hanyalah sebuah kota kecil di jantung pulau Inggris. Lokasinya  36 km di sebelah selatan kota Birmingham atau sekitar 150 km utara London. Berada di pinggiran pedesaan Warwickshire nan jelita, kota yang berdiri di pinggir sungai Avon ini menjadi salah satu destinasi wisata penting di Inggris Raya. Ia identik dengan kehidupan William Shakespeare. Ratusan ribu wisatawan terus menyinggahi kota ini sepanjang tahun, sekedar merasakan romantisme masa lalu Shakespeare.

Boleh saja William Shakespeare berujar, ”Apalah arti sebuah nama.” Namun bagi Stratford, sebuah nama bermakna multidimensi. Sebuah nama telah membuat Stratford  populer. Nama itu pulahlah yang menjadi nafas utama turisme yang menggerakkan sendi-sendi ekonomi kota Straford upon Avon. Shakespeare pun menjelma jadi sebuah komoditas yang sangat laku dijual. Sebagian besar penduduk Stratford yang cuma 20 ribu jiwa menggantungkan hidupnya dari bisnis yang terkait dengan sastrawan tersebut. Dari bisnis cenderamata gantungan kunci, penyewaan perahu, repro naskah-naskah Shakespeare, toko buku khusus Shakespeare, jasa penginapan sampai panggung pertunjukan drama yang khusus mementaskan karya sang sastrawan.

Lima buah properti milik Shakespeare dan keluarganya di jantung kota Stratford yang masih terawat rapi dengan arsitektur aslinya adalah favorit wisatawan. Padahal untuk menengok bagian dalam  setiap bangunan ini penggunjung di kutip uang masuk  antara 3,5 sampai 6,5 poundsterling (Rp 45 ribu – Rp110 ribu).  Tinggal mengkalkulasi penghasilan tahunan Stratford dari aktivitas wisata. Shakespeare Birthplace (rumah tempat kelahiran Shakespeare),  Anne Hathaway’s cottage (pondok milik istri Shakespeare), Marry Arden’s house, Hall’s Croft, Nash’s house/New Place adalah nama-nama properti yang kini dikelola sebuah badan Shakespeare Trust dan seakan jadi panduan wajib untuk dikunjungi wisatawan.

Sejarah hidup sang legenda

Di dalam bangunan-bangunan tua inilah, pengunjung seperti ini merasakan aura Shakespeare. Memasuki salah satu bangunan tersebut, saya seperti  diajak memahami kehidupan dan nilai-nilai spiritual Shakespeare. Di sebuah ruangan rumah Shakespeare yang terletak di jalan Hanley, tepatnya di kamar tidur berlantai kayu misalnya, terpampang sebuah ranjang cukup besar dengan kelambu warna hijau, merah dan putih. Beberapa bantal dan selimut warna hijau tergeletak di atasnya. Di sisi ranjang yang sepintas mirip tempat tidur kaum bangsawan Jawa, terdapat sebuah meja kecil. Di atasnya ada sebuah asbak kecil dan benda mirip gentong kecil yang digunakan untuk tempat pensil. Tercatat 400 benda milik pribadi sastrawan yang tersimpan dalam rumah dengan 8 kamar tersebut. Benda-benda itu mencakup dokumen, potret, lukisan dan koin kuno yang kini bernilai sangat tinggi.

Tidak jauh dari  rumah kelahiran Shakespeare berdiri sebuah bangunan tua di jaman medieval. Gedung ini adalah King Edward VI Grammar School yang dibangun awal abad 15. Inilah tempat sekolah Shakespeare semasa kanak-kanak. Bangunan itu tetap lestari keasliannya. Nampak bangku-bangku kayu warna hitam tempat belajar dan di depannya bangku untuk guru. Tidak nampak adanya papan tulis di ruangan tersebut

Catatan kehidupan pribadi William Shakespeare  penuh misteri. Rahasia kehidupannya tidak banyak dikuak. Sampai meninggal, tidak ditemukan adanya catatan tentang kehidupannya misalnya, buku harian  atau surat-surat. Satu hal yang diketahui adalah pada umur 18 tahun, ia menikahi Anne Hathaways seniornya yang berusia 8 tahun lebih tua darinya. Lima tahun kemudian ia hijrah ke London dan bekerja di teater Globe.  Penampilan perdananya di depan publik terjadi tahun 1593 dengan membacakan sajaknya Venus dan Adonis.

Karya-karya dramanya baru lahir dua tahun kemudian dan sejak itu ia terus berkarya sampai mencapi puncak ketenarannya. Karya dramanya yang populer dan beberapa diangkat ke layar lebar adalah Much Ado about Nothing, Hamlet, Othello, Macbeth, King Lear dan yang paling banyak sorotan adalah Romeo and Juliet.

Nama besar, popularitas dan kekayaan yang sudah diperolehnya tidak sampai membuatnya kehilangan akar pada Stratford. Justru pada saat namanya berkibar di London, ia  memutuskan pensiun dari dunia penulisan naskah drama untuk kembali ke kota kelahirannya pada tahun 1611.

Praktis hanya 5 tahun ia menikmati masa pensiunan dan berkumpul dengan istrinya, dan anak perempuan tunggalnya, Susanna yang menikah dengan  seorang dokter di Stratford, John Hall. Rumah mereka yang dikenal dengan Hall’s Croft sampai kini dilestarikan dan oleh badan Shakespeare Birthplace Trust dijadikan  salah satu obyek wisata peninggalan Shakespeare. Tahun 1616 Shakespeare meninggal dunia setelah minum-minum dengan beberapa teman teaternya malam sebelumnya. Ia  dikuburkan di Holly Trinity, gereja yang sama pada saat ia dibaptis tahun 1564. Di gereja yang sangat indah di pinggir sungai Avon itu  ikut pula dikuburkan, istrinya Anne Hathaways dan putrinya Susanna.

Kota nan tenang

Berkeliling ke beberapa tempat peninggalannya saya menangkap kesan betapa dramawan yang menghasilkan 37 naskah drama ini sangat dicintai warga kota kelahirannya.  Sayang kunjungan saya ini tidak tepat tanggal 23 April. Di hari yang bertepat hari St George itu, kota Stratford nampak meriah. Pecinta dunia sastra menggelar sebuah prosesi dan parade budaya mengenang hari kelahiran dan kematian Shakespeare. Para aktor, murid sekolah, warga melakukan karnaval di Stratford. Mereka yang terlibat dalam pesta rakyat itu tampil dengan busana dan segala pernak pernik yang biasa digunakan pada era William Shakespeare, jaman pertengahan. Prosesi itu berakhir di gereja Holy Trinity, dimana mereka melakukan aksi tabur bunga di pusara Shakespeare yang berada di dalam gereja.

Sore itu saya  melepas lelah di Dirty Duck, sebuah, pub paling ramai di Stratford, tepatnya di sisi gedung Royal Shakespeare Theatre. Pub ini nampaknya pilihan favorit para aktor dan aktris drama yang memainkan lakon karya Shakespeare. Saya bisa menduga itu karena foto-foto mereka tergantung di dinding pub tersebut. Dari penuturan pelayan, saya baru tahu kalau kedai minum ini tempat rileks para pemain dan pengunjung teater sebelum dan sesudah pementasan drama.

Di kejauhan cukup lama saya memperhatikan segerombolan wisatawan yang sedang asyik melempar roti pada sekawanan angsa putih dan hitam. Dermaga feri dekat gedung teater memang merupakan tempat favorit turis untuk beristirahat sembari menunggu pertunjukan drama dimulai.

Suasana Stratford amat nyaman dan tenang. Kota mungil sarat sejarah dan penuh bangunan arsitektur kuno ini begitu bersih. Sungai Avon yang melintasi kota nampak hidup dengan beberapa feri hilir mudik membawa wisatawan yang melihat sisi lain Stratford.  Pinggiran sungai ditumbuhi pohon-pohon rindang dengan taman-taman asri disampingnya. Puluhan angsa putih berenang bebas di air yang tenang dekat jembatan batu tua itu. Menikmati perjalanan feri setidaknya  menjadi sensasi tersendiri saat menikmati panorama kota dari pinggiran sungai.

Kota ini bak post-card hidup yang langsung tersimpan dalam memori.  Tak heran bila stres menguap, detak jantung memelan beraturan, dan rasa santai menguasai diri. Impresif satu kata ajektif yang tepat untuk menggambarkan lanskap kota Shakespeare ini. Dalam hati sempat terujar, semoga nanti bisa datang lagi.

Edinburgh, Si Jelita Skotlandia


Angin sejuk musim gugur berhembus di taman Princess, Edinburgh, Skotlandia.  Deretan pohon  mapel yang memisahkan rel kereta api di mulut  stasiun Weaverly dengan taman itu, nampak indah. Warna daunnya membentuk konfigurasi nan elok; kuning, jingga, merah darah, merah tua hingga coklat. Siap gugur menyambut musim dingin.

Saya tidak kuat berlama-lama di taman kota kelahiran penemu telepon, Alexander Graham Bell ini. Angin sejuk yang cenderung dingin, makin lama makin menusuk tulang. Melintasi  taman di kaki bukit karang yang kokoh dan  diatasnya bercokol kastil Edinburgh  yang anggun itu, adalah sensasi tersendiri di pagi hari. Orang tua, muda dan anak-anak  duduk-duduk di bangku taman yang berhias ribuan tanaman bunga berwarna-warni.

Penuh hati-hati saya berbasa-basi dengan mereka.   Masih terngiang di telinga, ucapan profesor saya asal Glasgow di kampus, ”Jika pergi ke Skotlandia, please, please, jangan sekali-kali menyebut Skotlandia adalah  Inggris.” Intonasi kata please benar-benar ditekankan. Maksudnya jelas. Orang Skotlandia tidak suka disamakan dengan orang Inggris. Mereka enggan berada dibawah bayang-bayang Inggris. Walau Skotlandia merupakan bagian dari Britania Raya, para Scottish sangat bangga dengan negerinya dan semua identitas kultural yang melekat pada negaranya.

Agak susah mengubah sikap mental dan membedakan Inggris dengan Skotlandia. Pertama karena lanskap alam yang tertangkap mata mirip-mirip dengan Inggris. Kedua perbatasan darat yang memisahkan dua negeri itu, membuat saya tidak sadar kalau sudah melintasinya. Tahu-tahu sudah  berada di wilayah negara lain.

*****

Berada di Edinburgh, seperti masuk ke pusaran waktu kebesaran aristokrat tempo dulu. Edinburgh Castle, istana raja Holyrood, royal museum, Calton Hill adalah beberapa ikon  sejarah lama kebangsawanan kota tua itu. Melintasi jalanan kota kuno dengan arsitektur gedungnya yang unik ini, seperti menyeberang ke lintasan waktu tahun 1700-an, bahkan di belakangnya.

Edinburgh memang punya banyak hal untuk dilihat. Kebesaran masa lalunya hanyalah salah satu dimensi daya tarik wisata Edinburgh. Sementara keindahan lanskap kotanya  dengan aneka  bangunan tua yang dibangun lebih dari empat abad lalu melengkapi sisi lain kemashuran kota pusat pemerintahan dan bisnis Skotlandia ini.

Dari taman, saya menyebrang jalan Princess, jalan utama di Edinburgh. Tujuannya Calton Hill, sebuah bukit kecil diujung timur jalan. Kulewati deretan pertokoan dan pengamen jalanan yang memakai Kilt– baju tradisional Skotlandia berbentuk rok dengan motif kotak-kotak warna merah atau  biru dan hitam–.dan sedang memainkan instrumen musik khas Skotlandia, big pipe.

Tidak sampai sepuluh menit mendaki, sampailah di bagian atas  Calton Hill. Diantara  belasan tiang tiruan Parthenon yang dibangun abad 19, kubuka rana kamera. Semua suguhan visual kota Edinburgh pun terekam. Begitu jelita. Kota ini bak post-card hidup yang langsung tersimpan dalam memori. Di sisi kiri, perbukitan Arthur’s Seat seraya tak putus mengawal. Di depan, bangunan kastil Edinburgh berdiri gagah  melatarbelakangi menara jam hotel Balmoral, monumen Nelson dan gedung observasi. Di sela-sela bangunan kuno, sulit mencari bangunan berasitektur modern. Tak heran bila stres menguap, detak jantung setelah mendaki memelan beraturan, dan rasa santai menguasai diri. Impresif satu kata ajektif yang tepat untuk menggambarkan lanskap Kota Edinburgh.

Edinburgh terbagi dalam dua zona; kota lama dan kota baru yang  dipisahkan  taman Princess. Sebagian besar pelancong umumnya memulai perjalanannya dari kota tua dengan landmark kastil Ediburgh. Sedang jalan Princess adalah jantung kota Edinburgh yang menyatukan semua simbol kehidupan tradisional dan modern.

Luasnya yang kalah jauh dengan Jakarta membuat kota ini mudah dikelilingi.  Berjalan kaki atau naik bus adalah dua pilihan yang sama menariknya.  Lokasi tempat wisata di Edinburgh tidaklah  berjauhan, mudah dijangkau dengan jalan kaki. Kalaupun rasa letih muncul tidaklah terasakan karena akan terkompensasi dengan hal-hal baru yang dilihat.  Bus wisata dengan atap terbuka lengkap dengan pemandu wisata bertarif  7 poundsterling (Rp 112 ribu) memulai awal turnya dari samping taman Princess Street atau depan pintu keluar stasiun kereta api, Weaverly. Mau yang murah meriah tinggal beli tiket terusan bis kota yang berlaku sehari penuh seharga 2,5 poundsterling (Rp 40 ribu).

Di kawasan kota lama, yang merupakan sisi terbaik Edinburgh,  banyak hal yang bisa dinikmati. Rumah-rumah berusia ratusan tahun milik bangsawan Skotlandia yang bergaya arsitektur Georgia tetap dilestarikan keindahan dan kebersihannya. Kastil Edinburgh tentu saja tak boleh dilupakan.  Bangunan di zaman Medieval dulunya  berfungsi sebagai barak militer, namun kini digunakan  kantor pusat angkatan bersenjata Inggris untuk divisi Skotlandia. Mahkota bertahtahkan permata yang digunakan pada saat penobatan raja-raja Skotlandia tempo dulu kini jadi pajangan yang banyak dipelototi turis. Dari tempat ini, tembakan meriam yang diarahkan ke jalan Princess menjadi  ritual harian yang banyak dinanti wisatawan.

Istana raja Holyroodhouse di sisi timur kota begitu megah. Bangunan indah bercat putih ini didirikan  sebagai tempat tinggal keluarga kerajaan James IV. Istana anggun dan  cantik ini dulunya merupakan tempat tinggal ratu Skotlandia, Mary, ratu Victoria dan Pangeran Charlie. Di dalam istana yang kini dibuka untuk aktivitas  wisata ini terdapat sebuah galeri yang dipenuhi  potret Charles II dan kakek nenek moyangnya.  Sebagai cenderamata, luangkan waktu di gerai suvenir yang ada di pojok depan istana. Aneka barang yang berbau Holyrood, seperti miniatur gedung, gantungan kunci, taplak meja, lukisan dinding sampai piring-piring berhias istana siap dibungkus.

Ditemani rekan Bintang Aritonang yang studi di Universitas Edinburgh, kami meninggalkan Holyroodhouse, menembus padang rumput di sebelah istana itu. Arthur’s seat, sebuah bukit yang agak gersang di  tenggara kota menjadi tujuan kami. Dari kejauhan bukit ini nampak tenang. Namun semakin mendekati puncak, langkah kian berat dan jalan pun jadi gontai karena terpaan angin yang begitu kencang. Sayangnya harapan melihat eloknya pemandangan seluruh kota Edinburgh dari sudut yang berbeda di bukit ini tidak kesampaian. Cuaca tiba-tiba mendung. Kota pun tersaput warna abu-abu, diselimuti kabut tipis. Benar-benar tipikal cuaca Inggris Raya yang susah diprediksi. Empat musim dalam sehari!

Dari cerita yang beredar, Arthur’s seat dulunya tempat  perburuan  raja-raja Skotlandia yang bermukim di istana Holyroodhouse. Bukit seluas 650 hektare ini sendiri  awalnya  sebuah gunung yang meletus sekitar 350 juta tahun yang lalu. Tentu saja dalam  kunjungan ke bukit ini,  tidak ada sambutan dari hewan liar babi hutan yang dulunya jadi obyek buruan para bangsawan. Bisa jadi hewan-hewan ini tidak lagi betah karena habitatnya sudah disulap jadi taman-taman yang indah.

*******

Malam hari, Edinburgh bermandi cahaya lampu. Kami berdua menikmati kehidupan malam yang ditawarkan kota ini. Langkah pun mantap menuju The Doctors, sebuah bar kecil di sudut jalan, dekat universitas Edinburgh. Di jalanan, nuansa tradisonal dan modern nampak menyatu. Kendati muncul tren untuk mendisain ulang bentuk Edinburgh dengan kehadiran café-café yang chic, trendi dan modern, kehadiran pub-pub tradisional masih tetap dominan.

”Pingin mencicipi whisky Skotlandia? Ini menu khas bar-bar sini,”ujar Bintang. Kenapa tidak? Saya ingin bersikap adil,  tidak hanya mata yang saya manjakan, tetapi indra-indra yang lain pun harus berkesempatan menikmati perjalanan ini.  Promosi whisky Skotlandia yang gencar, lantas  menjadi godaan yang konstan. Mana bisa godaan itu ditolak.  Indra mencecap sudah setuju minuman ini dicoba.

Hiruk pikuk, dan riuh benar suasana dalam bar itu. Perlu kesabaran mendapatkan bangku kosong. Gelak tawa, obrolan keras pengunjung berbaur dengan alunan musik hidup memekakkan telinga yang dimainkan empat orang musisi. Luas ruangan makin terasa kecil dengan banyaknya pengunjung. Udara dingin yang terasakan di luar langsung tak berbekas. Ternyata saya bukan pecinta air api yang sejati. Minuman yang menimbulkan rasa penasaran itu, tidak menimbulkan selera setelah dicicipi sedikit. Aromanya  amburadul dalam indra penciuman saya. ”Ganti Coca-cola saja!”.

Semakin larut malam, perhatian saya bukannya pada sajian musik atau susana bar yang makin hidup, tetapi lebih pada seorang lelaki setengah tua yang duduk menyendiri. Susah menebak apakah dia mabuk atau  benar-benar menikmati musik. Duduk menunduk dengan mata terpejam. Kedua tanggannya bergerak-gerak seperti menirukan posisi orang memetik dawai gitar. Gelengan kepalanya  kian keras seirama dengan alunan musik yang terdengar.

”Kadang-kadang saya kasihan melihat prilaku orang Skotlandia. Banyak orang  kesepian di Edinburgh. Mereka membunuh waktu sepinya dengan mengunjungi bar,”Bintang berkomentar. Kalau mengingat budaya barat yang  umumnya orang tua jadi sendiri lagi, karena ditinggal anak-anaknya yang berangkat dewasa, bisa jadi benar penilaian temanku itu. Sebuah ironi, kesepian di tempat keramaian di sebuah kota yang amat jelita ini.

Praha, Republik Ceko, Sebuah Kebesaran Bangsa Bohemia


Praque here I come

Kota Praha, Republik Ceko, satu kota di Eropa yang sangat terkenal bagi mereka yang suka jalan-jalan.  Saya pun penasaran seberapa menariknyakah kota di negara bekas komunis tersebut?.  Untuk mendapatkan gambaran tentang Praha dan negara Ceko saya pun melakukan surfing  di internet. Dari foto-foto di website terlihat  Praha termasuk kota yang cantik di daratan Eropa.

Keputusan pun saya ambil, untuk pergi kesana. Tertarik dengan tawaran promosi tiket murah, kubeli  tiket pesawat ke Praha secara on-line seharga 72 pound (Rp 979 ribu) Bristol-Praha pp. Sistem reservasi tanpa tiket  di internet memang memudahkan untuk bepergian di Eropa. Di counter check in cukup menunjukkan paspor.

Dalam penerbangan dua jam dari Bristol Inggris,  yang muncul di benak saya adalah gambaran stereotip Praha sebagai kota bekas  rejim komunis, secara keseluruhan masihlah kusam, ketinggalan jaman dan pandangan miring lainnya.. Kalau pun terlihat cantik seperti di brosur pastilah itu hanya daerah tertentu yang memang dijual untuk  kepentingan wisata.

Sore hari di musim semi saat saya menginjakkan kaki di bandara Ryuzin, Praha, penilaian saya langsung berubah total. Kendati tidak terlalu besar (kira-kira sebesar bandara Ngurah Rai Bali), bandara utama Praha itu  terlihat modern dan megah. Semua simbol kehidupan modern seperti fashion dengan merek terkenal Dolce and Gabbana, Gucci  dan lainya, juga produk-produk  IT, makanan simbol Amerika ada di sekitar  Ryuzin.

Custom clearance di imigrasi berjalan dengan lancar. Tidak ada antrian panjang semacam di bandara Heathtrow London misalnya. Sekali mengecek paspor dan mencocokkan foto dan melihat visa, petugas imigrasi pun langsung menyetempel paspor. Tidak ada pertanyaan macam-macam dari sang petugas.    Saya pun melenggang keluar disambut guyuran hujan gerimis.

Kendati sudah berbekal  buku panduan praktis mengunjungi Praha, saya masih menemui kesulitan karena tidak adanya petunjuk jalan dan informasi lainnya yang ditulis dalam bahasa Inggris.  Menemukan orang yang bisa ngomong Inggris pun agak susah di Praha.  Dari bandara, saya pun ikut-ikutan orang antri membeli tiket bus yang menuju ke jantung kota Praha seharga 12 Korun (Rp 3500). Dari sini saya baru tahu bahwa sistem trasportasi di Praha sangat efisien, selain sangat murah dengan kualitas angkutan yang baik. Tiket itu bisa digunakan untuk naik trem, bus atau kereta api bawah tanah sekaligus. Tidak ada kondektur atau pun penjaga yang mengecek karcis penumpang.

Dengan bekal satu karcis saya  mengelilingi kota Praha selama empat hari dengan bus, trem dan kereta bawah tanah sesuka hati dan turun naik ke tempat yang menarik perhatian. Saya pun merasakan betapa enaknya hidup di negeri sosialis demokrat Republik Ceko. Masyarakat dimanja dengan berbagai fasilitas umum yang murah dan aksesibel. Dibanding kota-kota di Eropa, semacam London, Paris atau Dublin, biaya hidup di Praha sangat murah, seperti  makanan, transport, dan penginapan.

Praha kotanya ternyata secantik yang digembar-gemborkan. Gedung-gedung kunonya  terawat rapi, bersih, di jalanan aneka mobil mewah lalu lalang, dan peradaban masyarakatnya sangat tinggi. Sesesak apapun di dalam trem kalaupun ada orang tua, orang pasti dengan suka rela memberikan bangkunya kepada kaum manula dan orang cacat.

Panorama Praha yang elok mulai nampak  saat kita menyusuri sungai Vltava yang membela jantung kota. Seperti kota-kota utama di Eropa, sungai memainkan peranan penting. Jika Paris mempunyai Seine, Roma punya Tiber dan London ada Thames maka Praha dilalui Vltava, sungai terpanjang di negeri bekas komunis itu.

Di dalam sejarahnya, dari pinggiran sungai inilah kota Praha berasal. Ini ditandai dengan dibangunnya kastil Praha yang berada di atas bukit dan menghadap sungai Vltava, Kemudian bangunan lainnya mengikuti yang berdiri di bawah bangunan kastil tersebut.

Dengan naik trem kota, saya mengunjungi tempat-tempat yang menjadi highlight kota Praha. Yang pertama dikunjungi tentu saja adalah kastil Praha, landmark atau  icon kota Praha. Menuju kastil ini memang lebih pas dengan berjalan kaki, melewati Charles bridge, sebuah jembatan batu tertua yang menjadi akses utama. Tercatat ada 18 buah jembatan yang membelah Vltava dengan gaya arsitekturnya yang berbeda-beda.


Suasana jembatan Charles yang khusus untuk pejalan kaki sepanjang 514 meter dengan lebar 7 meter yang dibangun paruh kedua abad 14 sangatlah hidup. Para penjual cenderamata, seperti gantungan kunci dan lukisan dan drawing berjajar di sepanjang sisi kiri dan kanan jembatan. Musim semi membuat Praha dibajiri banyak turis yang  hilir mudik di jembatan tersebut.

Berdiri di tengah jembatan, pemandangan sangatlah cantiknya. Bangunan kuno nampak berderet rapi di tepi sungai. Puluhan cafe yang menawarkan aneka hidangan dengan deretan kurisnya yang menjorok ke sungai adalah pemandangan tersendiri. Air Sungai Vltava yang sangat jernih dan  warna biru, dilalui beberapa ferry yang membawa turis berpesiar melihat keindahan kota. Kapal yang sarat turis itu, hilir mudik  melewati puluhan angsa putih yang dibiarkan hidup bebas di sungai Vltava. Jadwal reguler feery  ini mulai dari pagi sampai sore dan yang paling favorit adalah sunset cruisenya.

Dari Charles Bridge melewati jalan berkelok, kemudian menanjak melintasi beberapa gedung kedutaan besar, sampailah saya di kastil Praha. Napas yang terengah-engah sepertinya tak terasakan ketika melihat seluruh kota Praha yang cantik dan terhampar di bawah  kastil. Kebetulan hari itu cuaca sangat cerah, sehingga panorama kota terlihat jelas dari atas bukit. Aliran sungai yang berkelok-kelok dengan refleksi airnya yang keperakan  pada pagi hari, ramainya lalu lintas melewati puluhan jembatan dengan arsitektur dan gedung-gedung tua bersejarah adalah panorama yang terpampang  dari depan kastil. Sebuah bukti peradaban yang tinggi dari bangsa Bohemia. Saya pun merogoh koin 20 Korun, memasukkan di boks teleskop di depan kastil untuk melihat detil sudut kota dengan jelas. What a view!!

Kastil Praha yang sarat dengan legenda historisnya, berdiri sejak lebih dari 1100 tahun yang lalu. Bangunan bersejarah ini dulunya didiami oleh raja Ceko dan dalam perkembanganya digunakan sebagai kantor gubernur dan terakhir sebagai kantor administrasi republik Ceko.  Kastil Praha yang menjadi titik sentral dari pendirian negara Ceko ini memang cantik dengan hiasan ornamen yang ada di beberapa bagian dindingnya. Lukisan kuno dengan berbagai ukuran yang eolok nampak bergantung di dinding. Lanskap di sekitar bangunan kastil   sangat asri. Disisi sebelah selatan dibatasi jurang yang menuju sungai Vlatava, sebelah utara dan barat dibatasi oleh jurang hutan.

Puas mengelilingi kastil dan tak lupa tentunya memotret beberapa sudut bangunan dan  mengambil beberapa gambar parade pasukan saat berganti tugas di lapangan ketiga di depan katedral Saint Vitus ini, saya pun melanjutkan jalan kaki melihat daerah Old Town yang merupakan highlight lain dari Praha. Saya pun mengambil jalur lain untuk mengetahui detil lain sudut Praha.

Old Town ini merupakan tempat bermukimnya komunitas yahudi di Praha. Di paruh kedua abad 12, tempat ini menjadi  pusat dagang  dan alun-alun kota tua (Old town square) merupakan jantung kehidupan ekonomi di Praha. Sekarang nafas bisnis masih terlihat kental, kendati aroma aktivitas bisnis pariwisata yang lebih tampak dominan.

Suasana di alun-alun kota pada bulan Mei sangatlah  hidup dengan banyaknya turis yang mendatangi tempat ini. Puluhan kereta kuda bertempat duduk enam orang dengan sais kaum yahudi yang rata-rata memelihara jenggot panjang, memakai topi dan jubah berwarna hitam nampak aktif menawarkan jasanya kepada wisatawan yang ingin jalan-jalan mengeliligi kota tua. Di depan sebuah kathedral kuno, kegiatan tradisional rakyat Ceko masih dipihara misalnya kehadiran pandai besi dengan peralatannya yang sederhana sebuah pompa manual untuk melebur besi. Mereka membuat beberapa jenis suvenir seperti liontin kalung dari bahan tembaga, gelang dan cincin dengan motif khas Ceko untuk konsumsi turis. Benda-benda ini bisa dibeli dengan harga yang murah untuk ukuran Eropa.

Banyak hal yang memang bisa dilihat di tempat ini. Di satu sudut alun-alun misalnya, tepatnya di sebuah menara kuno, salah satu sisinya tergantung dua buah jam astronomi kuno yang menarik perhatian. Menurut catatan, jam astronomi yang ada di Old town sudah ada sejak abad 15 dan dibangun oleh Mikulas yang disempurnakan oleh Hanus. Jam yang ada di sebelah atas menunjukkan waktu Eropa bagian tengah dan waktu Republik Ceko pada masa lampau yang hitungannya di mulai dari matahari terbenam.

Duduk di deretan kursi kafe yang banyak memenuhi alun-alun sambil menikmati seduhan kopi panas dengan beberapa potong croisant sembari melihat suasana keriuhan Old Town square sungguh merupakan  keasyikan tersendiri yang saya dapat setelah penat berkeliling kuta tua.  Pikiran benar-benar rileks dengan melihat berbagai ulah tingkah turis dari berbagai negara yang bergerombol dan duduk di monumen John Huss yang dibangun tepat di tengah alun-alun kota tua untuk menghormati tokoh  yang tewas dalam pertempuran  yang dikenal White Mountain itu.

Melewati waktu malam dengan mendatangi bar di sekitar old town juga pengalaman lain yang tidak bisa dilewatkan rasanya. Bagi pecinta minuman khususnya bir, bertandang ke bar-bar di Praha adalah hal yang sangat menyenangkan. Dibandingkan dengan kota-kota di Eropa lainnya, harga bir disini sangatlah murah, sekitar seperempatnya jika dibandingkan di Inggris. Belum lagi hiburan musik livenya dan penari perempuannya yang terkenal hot dalam mempertunjukkan atraksinya. Mata terasa melotot dibuatnya.

Pukul jam 9 malam keluar dari bar, saat hendak membeli rokok di sebuah kios kaki lima, si penjual dengan ramah menyapa dan bertanya dari mana saya berasal. Ketika kujawab dari Bali, Indonesia, ia berkata,” Wouw…..Bali?. Tempat yang mempesona. Saya pernah berkunjung ke  pulau anda.” Saya pun kaget ketika si penjual menolak duit yang saya sodorkan.”Rokok dan geretan ini gratis untuk anda sebagai salam persahabatan dari penduduk Praha.” Lumayan dapat sebungkus rokok Marlboro yang jarang saya nikmati selama kuliah di Inggris, karena harganya yang sekitar Rp 75 ribu, cukup  mahal bagi kantong mahasiswa

Kastil Karlystin.

Tiga hari mengitari seluruh sisi kota Praha saya kira cukup untuk mendapatkan gambaran lengkap dari ibukota Republik Ceko ini. Beberapa brosur wisata kubuka, sekedar untuk mengetahui daya tarik lain dari Ceko dan sekitarnya. Saya pun terpikat dengan informasi kastil Karlystin yang berada 30 km selatan kota Praha.

Pukul 07.00, saat suhu udara cukup menyengat dinginnya di musim semi, saya bergegas keluar penginapan menuju stasiun kereta api bawah tanah. Terus terang kondisi underground di Ceko lebih sederhana jika dibandingkan dengan kereta api bawah tanah di London yang lebih ruwet karena seringkali turun naik tangga untuk berganti kereta di platform yang berbeda. Di Ceko, peta jalur kereta api bawah tanah cuma seperti garis diagonal yang menghubungkan sisi utara selatan dan timur barat kota, sehingga cukup sederhana dan tidak membingungkan.

Di stasiun Smichov saya keluar  terowongan dan meneruskan dengan kereta api menuju Karlystin. Cukup mengeluarkan uang 50 Korun (sekitar Rp 13.800) saya sudah dapat tiket pp Praha-Karlystin. Kondisi kereta peninggalan Uni Soviet, negara yang sudah almarhum itu cukup bagus. Kereta api itu mirip  kereta kelas binis di tanah air. Sekitar setengah jam perjalanan melewati daerah pedesaan Ceko yang indah, sampailah kereta di Karlystin, kota kecil nang elok.

Sepuluh menit berjalan dari stasiun kereta api,  mata langsung disuguhi pemandangan kastil tua yang berdiri megah di atas bukit sehingga keberadaannya mencolok mata. Kastil ini ternyata merupakan daerah obyek wisata yang banyak dikunjungi wisatawan. Ini terlihat dari banyaknya bus-bus wisata yang diparkir. Semakin mendekati bangunan kastil suasananya mirip daerah Legian Bali,  karena di sisi kanan dan kiri jalan dipenuhi kedai kafe dan aneka macam toko yang menjual cenderamata khas Ceko seperti boneka, dan kerajinan tangan lainnya.

Semakin siang arus turis cukup banyak mengunjungi tempat ini. Untuk mencapai kastil kita bisa naik kereta kuda tanpa kap yang berpenumpang enam orang atau jalan kaki melewati jalan menanjak. Di beberapa sudut  terdapat pria yang mengenakan kostum  khas tradisional Ceko dengan topi yang penuh rumbai-rumbai dan membawa burung besar. Pria ini menyediakan diri untuk foto dengan turis dengan imbalan tertentu. Terlihat juga pelayan restoran dengan seragam busana khas Ceko masa silam.  Saya jadi terbawa suasana, seolah-olah melakukan perjalanan lintas waktu ke masa silam dan terdampar di tengah abad pertengahan.

Kastil Karlystin mengingatkan saya pada Ediburgh castle yang ada di Edinburgh, Skotlandia. Ini karena sama-sama dibangun di atas bukit sehingga menarik perhatian. Sepintas bangunannya terlihat mirip kendati kastil di ibukota Skotlandia itu lebih besar. Berdiri di belakang tembok kastil panorama di bawah sangatlah indah. Suasana pedesaan, sebuah danau yang cukup besar dengan airnya yang jernih dan ladang tanaman yang diapit perbukitan, sementara rumah-rumah dengan arsitektur khas Ceko yang berderet rapi makin menambah eloknya landskap kastil.

Memasuki kastil saya pun merasa seperti berada di sebuah benteng besar, karena di beberapa sisi bangunannya terdapat meriam dan alat pengintip dari lobang kecil. Sementara di sudut kastil bagian bawah terdapat sebuah sumur yang besar dan sangat dalam. Di atasnya terdapat  alat pengerek besar yang digerakkan manual dengan sebuah timba besar mirip bak mandi untuk keperluan mengambil air. Dari bentuk timba dan besarnya lubang sumur maka perlu beberapa orang untuk bisa menimba air. Di beberapa pintu terdapat beberapa penjaga yang berpakaian khas satria tempo dulu dengan topeng dan penutup kepala dari besi dan sebuah tombak yang cukup panjang.

Menurut cerita dulunya kastil ini dihuni oleh seorang raja Ceko sebagai tempat peristirahatan. Dan pemerintah Ceko sekarang ini menjadikannya sebagai obyek wisata setelah melakukan beberapa renovasi di beberapa bagian bangunannya yang mengalami kerusakan. Di dalam bangunan kastil beberapa benda memorabilia jaman kerajaan dulu nampak tergantung di dinding.

Ketika hari menjelang siang dan puas mengamati detil kastil saya pun beranjak turun untuk mengejar penerbangan sore harinya. Dalam perjalanan dengan pesawat Go airline, kurasakan fantasi kanak-kanakku muncul, menjadi seorang ksatria di tengah-tengah suasana masa  pertengahan.